“Kita jangan malas.” Kalimat itu keluar begitu saja dalam pidato Ilham Akbar Habibie pada malam pembukaan Muzakarah Saudagar Aceh 2025, dan sejak itu terus berputar di kepala saya. Buat saya, “jangan malas” adalah nasihat untuk anak SMP yang lupa mengerjakan PR, bukan untuk orang-orang yang sudah bertahun-tahun bertahan “berdarah-darah” sebagai pengusaha di Aceh.

Aceh Bukan Malas, Aceh Dipermalaskan

Dari sini muncul pertanyaan: dari luar, pengusaha Aceh ini sebenarnya sedang dilihat sebagai apa? Pejuang, atau pemalas yang perlu dimotivasi?

Kalimat seperti itu pelan-pelan memindahkan beban masalah Aceh ke pundak individu. Seolah cukup: kalau saja orang Aceh lebih rajin, lebih giat, lebih bermental juara, maka ekonomi akan bangkit.

Sayangnya, hidup pengusaha di Aceh tidak sesederhana itu.

Pengusaha yang masih bisa bernafas di Aceh hari ini justru bukti hidup bahwa mereka tidak malas. Mereka mungkin lelah, frustrasi, atau berkali-kali dipatahkan keadaan, tapi menyebut mereka “malas” rasanya seperti bercanda kelewatan.

Berusaha di Aceh rasanya seperti berenang di kolam keruh dengan arus berlawanan: regulasi berbelit, ego sektoral, jaringan timpang. Dari kejauhan, gerak mereka bisa tampak pelan, bahkan seperti diam. Lalu dari tepi kolam datang nasihat enteng: “Jangan malas.”

Aceh Bukan Malas: Luka Struktural di Baliknya

Pola ini tidak hanya terjadi di dunia usaha. Di banyak sektor, ceritanya mirip: ekosistem malas dibenahi, tapi yang diingatkan jangan malas justru warganya. Regulasi malas diperjelas, tapi mentalitas rakyat yang dijewer. Negara dan lembaga malas menyusun desain besar yang konsisten, tapi rakyat yang diminta “mengubah mindset”.

Kita terlalu sering memakai kacamata moral untuk menutup luka struktural.

Maka tidak heran jargon seperti “jangan malas”, “jangan manja”, “mindset harus diubah” laris di podium. Di dunia usaha, versinya: “Jangan terlalu tergantung pada pemerintah, harus mandiri.”

Padahal pemerintah memegang kunci-kunci vital: izin, insentif, kebijakan pajak, akses informasi, kemudahan ekspor, sampai iklim investasi. Kalau semua kunci itu disimpan di lemari yang juga terkunci, lalu pengusaha disuruh “kreatif” mencari jalan sendiri, jangan kaget kalau yang muncul bukan hanya rasa malas, tapi juga sinisme.

Jadi kalau mau jujur, pertanyaannya memang perlu dibalik:
bukan lagi “mengapa pengusaha Aceh malas?”,
tetapi “siapa saja yang selama ini malas membuat pengusaha Aceh punya peluang yang wajar?”

  • Malas menyederhanakan izin.
  • Malas transparan soal kebijakan.
  • Malas menyusun data potensi pasar yang rapi.
  • Malas duduk mendengar pelaku usaha tanpa sorotan kamera dan seremoni.

Inilah jenis kemalasan yang biayanya jauh lebih mahal daripada orang yang malas posting konten motivasi di Instagram.

Berhenti Memalaskan Satu Generasi

Saya tidak alergi dengan kalimat motivasi. Aceh memang butuh dorongan, butuh orang yang bilang, “Ayo, bisa, jangan menyerah.” Masalahnya mulai ketika motivasi dipakai sebagai selimut untuk menutupi fakta bahwa secara struktural kita sedang memalaskan satu generasi.

Kita memalaskan pengusaha dengan membiarkan birokrasi tak masuk akal.
Kita memalaskan anak muda dengan mempertontonkan bahwa jalur tercepat menuju “sukses” adalah kedekatan, bukan kompetensi.

Lalu ketika hasil akhirnya mengecewakan, kita cukup mengangkat alis dan berkata: “Lihat, kan? Mereka malas.”

Di titik ini, wajar kalau Aceh belajar memakai kata-kata dengan lebih hati-hati. Kalau kita sungguh-sungguh ingin membangkitkan kembali tradisi saudagar Aceh, narasi yang dipakai tidak bisa lagi yang aman-aman saja. Kita butuh kalimat yang lebih jujur, dan karena itu lebih berisiko bagi penguasa, bukan bagi rakyat.

Misalnya:

“Kita jangan malas membenahi aturan yang mematahkan semangat pengusaha.”
“Kita jangan malas menghentikan praktik yang menghisap modal orang kecil.”
“Kita jangan malas mengakui bahwa selama ini, Aceh lebih sering dijadikan objek proyek daripada subjek pembangunan.”

Aceh bukan malas. Aceh terlalu lama dipermalaskan — oleh sistem yang setengah hati, oleh kebijakan yang gonta-ganti, dan oleh narasi yang gemar menyalahkan warga sambil lupa bercermin pada kekuasaan.

Dan mungkin, langkah pertama untuk berhenti memalaskan Aceh adalah berhenti mengucapkan kalimat yang terdengar bijak, tapi diam-diam menyamakan pengusaha yang masih bertahan dengan anak SMP yang lupa mengerjakan PR.

BACA JUGA:  Bukan Masalah Ijazah Tapi Dekan-nya Yang Bermasalah!