Kalau ada ramalan bahasa Aceh musnah, itu bukan tahayul. Bahasa Aceh memang sedang dimatikan pelan-pelan. Bukan oleh Belanda, bukan oleh Jakarta, tapi oleh kita sendiri.

Festival Keren, Bahasa Sendiri Ditinggal

Seperti anak kecil yang memaksa pakai jas kebesaran, kita merasa keren kalau lidah kita belepotan bahasa Inggris. Padahal logat tetap juga logat. Bahasa Aceh dianggap kampungan, bahasa Indonesia dianggap kurang “kelas”, jadi dipilihlah bahasa Inggris, biar tampak modern.

Saya sendiri pernah terjebak dalam pola itu. Tahun 1991, sewaktu masih berumur 22 tahun, saya membuka kursus musik dengan nama Moritza Music Club. Rasanya gagah benar. Baru kemudian sadar, kalau memang sekolah musik ya tulis saja Sekolah Musik Moritza. Toh murid-muridnya bukan bule. Tapi begitulah penyakit kita: suka mengkeren-kerenkan diri, meski akhirnya malah terlihat lucu.

Nama Acara yang Kehilangan Bahasa

Contoh paling nyata terlihat di panggung resmi. Pemerintah yang seharusnya menjaga marwah bahasa justru jadi promotor utama bahasa asing. Nama acara besar lebih banyak berbahasa Inggris daripada Aceh.

  • Aceh Culinary Festival → Festival Kuliner Aceh
  • The Light of Aceh Stage → Panggung Cahaya Aceh
  • Aceh Tourism Travel Mart → Bursa Pariwisata Aceh
  • Redelong Aceh Mountain Bike → Sepeda Gunung Redelong Aceh
  • Takengon Rafting Festival → Festival Arung Jeram Takengon

Kalau nama acara saja lebih percaya diri dengan bahasa Inggris, bagaimana nasib bahasa Aceh yang lebih sering dianggap “tidak keren”? Seolah-olah kalau ditulis dalam bahasa sendiri, dunia takkan melirik. Padahal kenyataannya, meski sudah berbahasa Inggris, dunia tetap juga tidak peduli.

Krisis Percaya Diri

Inilah penyakit lama yang terus menular: minder terhadap bahasa sendiri. Bahasa Aceh ditinggalkan bukan karena sulit, tapi karena tidak dianggap menjual. Bahasa Indonesia pun sering dianggap kurang gaungnya. Jadilah bahasa Inggris dipakai sebagai stempel “keren”.

Krisis percaya diri ini menular ke segala lini. Dari sekolah, birokrasi, sampai papan nama warung kopi. Kita ingin terlihat modern, tapi yang hilang justru jati diri. Bukankah lebih terhormat kalau Aceh memperkenalkan dirinya dengan bahasa sendiri dulu, baru kemudian diterjemahkan ke bahasa lain?

Bahasa yang Terus Disingkirkan

Bahasa Aceh perlahan hanya hidup di ruang-ruang domestik: doa, tahlil, syair, hikayat lama. Di ruang publik, ia jarang muncul. Bahkan dalam promosi budaya, bahasa Aceh absen total. Kalau tren ini berlanjut, jangan heran bila sebentar lagi ada acara peusijuek yang diberi nama Aceh Spiritual Ceremony.

BACA JUGA:  Malah Dikira Sombong