Di akhir 2025, kita melihat pola yang makin terang: kabar baik dipersilakan jadi etalase, sementara kabar buruk diminta masuk jalur “internal”—sunyi, rapi, dan sulit ditagih ujungnya.
Negara Bukan Rumah Makan Padang
Di negeri ini, jujur soal masalah kadang dianggap salah. Kita diminta bicara positif, bernada sejuk, dan jangan bikin gaduh.
Padahal, kalau kita cuma sibuk memoles citra (etalase) dan lupa membereskan kerjaan di belakang (dapur), kebijakan pemerintah cuma jadi dekorasi.
Pola ini kelihatan makin terang di akhir 2025.
Saat bencana banjir, muncul pesan: kalau ada kekurangan, sampaikan langsung saja—jangan lewat media. Dalihnya? Jangan menggiring opini, mari tebarkan “energi positif”.
Lalu di urusan Makan Bergizi Gratis (MBG), ketika siswa memotret temuan menjijikkan di makanannya, yang disorot malah bukan soal makanannya, tapi sikap si anak—dikhawatirkan “kurang bersyukur”.
Coba dengar baik-baik, pesannya senada: Kalau bagus, postinglah. Kalau busuk, bisikkan saja ke kami.
Ini mengingatkan saya pada motto Rumah Makan Padang: “Jika puas beritahu teman, jika tidak puas beritahu kami.”
Di restoran, kalimat itu ramah. Tapi saat dipakai negara, ia bisa berubah jadi perintah bungkam.
Masalahnya, warga bukan pelanggan yang bisa pindah warung kalau rendangnya basi. Warga adalah pemilik sah negara yang berhak tahu kalau dapur kekuasaan sedang kotor. Dan kalau dapurnya kotor, etalase yang kinclong cuma bikin kita terlambat sadar.
Seringkali, dalil agama “menutup aib” ikut dipakai sebagai tameng. Padahal konteksnya beda. Menutup aib itu untuk urusan dosa pribadi, bukan untuk kebijakan publik yang menyangkut nyawa orang dan uang rakyat.
Orang Aceh punya pegangan pas untuk urusan ini:
“Phet jeut keu ubat, mameh jeut keu tuba.”
Pahit jadi obat, manis jadi tuba. Kritik yang pahit itu obat—menyakitkan, tapi menyembuhkan. Pujian manis sering jadi tuba—enak di lidah, tapi racun yang mematikan.
Menjaga marwah pemimpin itu wajib, tapi membiarkan rakyat kena mudarat demi citra pemimpin adalah khianat.
Menyapu debu ke bawah karpet tidak bikin lantai bersih; itu cuma menunda bersin.
Jadi mungkin kantor-kantor publik perlu pasang motto baru yang lebih jujur, pakai font besar di dinding:
“JIKA ANDA PUAS, VIRALKAN. JIKA TIDAK PUAS, DIAMLAH—ATAU LAPOR KE JALUR DALAM YANG UJUNGNYA GELAP.”
Dengan begitu, kita tak perlu pura-pura transparan. Kita jadi sadar: yang sering dijaga pertama-tama bukan pelayanan rakyat, tapi perasaan penguasa.



