Bagi penguasa, daerah ideal adalah yang jinak seperti hewan sirkus: patuh dan menghasilkan uang. Namun, Aceh punya memori dan harga diri yang menolak sekadar ‘dirapikan’ atas nama persatuan.
Aset yang Menolak Diam
Aceh bukan masalah yang harus dibereskan. Aceh itu aset.
Tapi aset yang bernyawa—punya kehendak dan harga diri—selalu bikin pusat kekuasaan gelisah. Sebab bagi banyak “manajer”, aset terbaik adalah yang penurut.
Logika ini mirip dunia sirkus. Hewan buas dibuat tunduk demi tiket dan tepuk tangan. Setelah patuh, ia tak lebih dari alat pencetak uang yang terus diperas.
Pola serupa dipakai menghadapi daerah yang keras kepala: bukan dipahami, tapi “ditertibkan”. Bukan dianggap setara, tapi “dirapikan”. Pawangnya adalah aturan, panggungnya bernama “persatuan”.
Dulu Kumpeni pakai serdadu demi melancarkan bisnis. Sekarang kita pakai alasan integrasi nasional. Bedanya cuma kemasan, isinya sama: begitu ada yang berharga tapi berani menolak, kita tergoda mengecapnya liar—supaya punya alasan untuk memaksanya tunduk.



