Di tengah lumpur Pidie Jaya yang belum sempat mengering, saat warga masih sibuk menghitung kerugian, sebuah pemandangan surealis tersaji: empat ekor gajah berjalan pelan di antara reruntuhan. Bukan ekskavator, bukan alat berat canggih kiriman pusat, melainkan satwa berstatus Kritis (Critically Endangered) yang datang membereskan jejak bencana.
Gajah di Antara Puing Banjir Pidie Jaya
Di negeri yang gemar memajang baliho Revolusi Industri 4.0, kita justru mundur ke belakang, meminjam punggung satwa liar untuk membersihkan kekacauan yang gagal kita cegah sejak dari hulu: rusaknya hutan.
Antara Narasi Darurat dan Inkonsistensi Konservasi
Alasan teknis di lapangan terdengar rapi: medan sulit, gang sempit, gajah jinak terlatih, serta didampingi mahout dan dokter hewan. Sekilas, narasi ini tampak seperti jalan tengah yang manis antara darurat bencana dan kearifan lokal. Namun di situlah letak jebakan logikanya. Ketika sebuah kebijakan darurat terasa terlalu nyaman untuk diteruskan, kita patut curiga: apakah ini solusi cerdas, atau sekadar tambal sulam murah untuk menutupi ketidaksiapan sistem mitigasi kita?
Kita sedang bicara tentang Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus), bukan kerbau pembajak sawah. Populasinya di ambang kepunahan, habitatnya terpotong jalan dan izin perkebunan yang kita stempel sendiri.
Ya, dalam sejarah Aceh, gajah pernah ikut bekerja bersama manusia; tetapi dulu mereka bukan spesies yang tinggal sisa, yang hutannya dicincang konsesi dan jalan logging. Di satu meja, negara menyusun dokumen strategi konservasi; di lapangan, negara yang sama mewajarkan hewan langka ini menyeret kayu di antara besi tajam demi menutup lubang kegagalan tata ruang. Ini bukan sekadar ironi, melainkan inkonsistensi kebijakan yang sulit disangkal.
Masalahnya bukan hanya risiko fisik—lumpur tebal atau paku yang mengancam kaki gajah—melainkan normalisasi. Foto-foto yang beredar kerap membingkai heroisme: gajah menarik kayu, aparat tersenyum. Yang luput dari bingkai adalah fakta bahwa gajah didorong menjadi aktor utama panggung bencana, menggeser pertanyaan krusial dari “mengapa banjir ini bisa terjadi?” menjadi “lihat, betapa menyentuh gotong royong manusia dan satwa.”
Romantisasi ini berbahaya. Ia mengalihkan kita dari sengkarut izin tambang dan pembalakan liar menuju narasi sentimental yang meninabobokan. Padahal, kayu-kayu gelondongan yang ditarik gajah itu boleh jadi adalah sisa dari “rumah” mereka sendiri yang telah dijarah paksa.
Antara Martabat Manusia dan Hak Gajah
Bahayanya, jika kita menerima pelibatan ini sebagai sesuatu yang wajar dan berulang, kita sedang membuka pintu yang sulit ditutup. Hari ini gajah dipakai membersihkan sisa banjir, besok mungkin untuk tugas proyek lain dengan dalih “efisiensi.” Perlahan, batas tegas antara konservasi dan eksploitasi akan kabur. Gajah tak lagi dilihat sebagai subjek ekologis yang harus dilindungi, melainkan “alat berat biologis” yang kebetulan bernyawa. Negara dengan anggaran triliunan untuk infrastruktur semestinya malu jika masih membebankan tugas alat berat ke punggung satwa yang populasinya sedang sekarat.
Menolak pelibatan gajah dalam operasi pembersihan ini sama sekali bukan bentuk ketidakpedulian pada korban banjir. Justru sebaliknya: ini adalah tuntutan agar manusia diperlakukan bermartabat. Korban bencana berhak atas penanganan yang serius, sistematis, dan berbasis teknologi modern, bukan sekadar solusi darurat yang mengandalkan tenaga satwa. Manusia berhak atas ekskavator dan loader; gajah berhak atas ketenangan di habitatnya. Menuntut hak gajah, dalam konteks ini, adalah bagian dari menuntut kewarasan tata kelola negara.
Untuk sementara, mungkin kita lega melihat gajah membuka akses ke desa-desa yang terisolir. Namun kelak, sejarah akan mencatat: selama gajah masih dipanggil turun gunung untuk membereskan sampah peradaban kita, itu artinya ada yang sakit dalam cara kita mengelola ruang hidup.
Jangan sampai banjir berikutnya datang, dan yang pertama kali kita panggil bukan lagi gajah, melainkan akal sehat dan nurani yang selama ini kita biarkan tertidur lelap.



