Beberapa penyanyi Aceh masa lalu berkali-kali melahirkan lagu hits yang laris di pasaran. Padahal, waktu itu saingannya terasa berat.

Hit, Hits, dan Bandit

Kaset-kaset mereka dipajang di satu toko yang juga menjual kaset musisi dan grup luar negeri. Ada Rolling Stones, Queen, Boney M. Dari dalam negeri, ada God Bless, Rhoma Irama, Yus Yunus, Elvi Sukaesih.

Dalam konteks itu, nama-nama penyanyi Aceh tadi tetap punya tempat. Lagunya tetap dicari, tetap dibeli.

Namun entah kenapa, di mata saya, penyanyi Aceh masa kini terasa jauh lebih susah punya lagu hits. Kalau pun ada, seringnya cuma satu lagu yang benar-benar menonjol sebelum pelan-pelan hilang dari ingatan.

Tentu faktor industri ikut berubah: cara distribusi, algoritma, dan kebiasaan orang mendengar musik sekarang tidak sama dengan zaman kaset.

Tapi di luar semua itu, ada satu hal sederhana yang ingin saya tanyakan:

Lalu apa yang membuat sebagian penyanyi Aceh masa kini seolah “kalah” dibanding penyanyi Aceh masa lalu?

Kualitas penyanyinya? Kualitas pencipta lagunya?

Bisa jadi.

Penyanyi jadul suaranya bagus dan benar-benar pandai menyanyi.

Mereka tidak hanya pandai menulis lirik. Melodi lagunya pun indah.

Ya.

Sebagian keindahan itu juga lahir dari aksi banditisme: mencuri karya orang lain yang sudah terbukti enak didengar, mengutip sana-sini tanpa izin, lalu menjualnya kembali dengan percaya diri. Banditisme, tapi diaransemen dengan rapi.

Sebagiannya lagi murni hasil kerja keras dan jam terbang: latihan, panggung, rekaman, jatuh-bangun yang panjang.

Coba bandingkan dengan sebagian penyanyi Aceh masa kini.

Kalau dulu, penyanyi Aceh memang seorang penyanyi. Profesi, identitas, dan kebanggaannya jelas: penyanyi.

Tapi sekarang, di antara sosok yang paling sering muncul membawa label “penyanyi Aceh”, terlalu banyak yang sebenarnya bukan penyanyi — dalam arti tidak berlatih dengan serius, tidak mengasah teknik, dan tidak menganggap musik sebagai profesi, hanya sebagai tiket cepat ke dunia viral.

Bukan penyanyi?

Memang bukan. Setidaknya bukan penyanyi dalam pengertian lama: orang yang menganggap suara dan panggung sebagai pekerjaan utama, bukan sekadar efek samping dari algoritma.

Saya pernah tanya langsung: “Apakah kamu penyanyi Aceh?”

Jawabannya kira-kira begini — dan pola jawaban seperti ini bukan sekali dua kali saya dengar:

“Saya belum pantas disebut penyanyi, Bang. Saya baru belajar dan coba-coba. Saya cuma mau ikutin jejak rekan saya yang sebelumnya coba-coba juga, tapi viral.”

BACA JUGA:  Beda Kepekaan Seniman Aceh Tua