Mak Lapee, Inovator Seni Peugah Haba dari Manggeng dan Para Penerusnya
Mak Lapee, begitu orang memanggilnya. Troubadour ini terkenal di wilayah pantai barat dan selatan Aceh di era lima puluhan. Dia berasal dari desa Blang Manggeng. [1]
Sebenarnya nama asli Mak Lapee adalah M. Yahya.
Sebagai pemuda, M. Yahya memiliki keistimewaan dibanding rekan-rekan segenerasinya, dia memiliki bakat verbal unik. Dengan tutur kata bersajak, mampu merespon secara spontan setiap kejadian di depan matanya.
Kegemaran lainnya adalah bercerita. Uniknya ketika bercerita dia merangkai berbagai kejadian dengan kalimat indah dan bersajak. Bakatnya ini segera membuat M. Yahya menjadi sosok yang disenangi dan digandrungi dalam pergaulan.
KONSUMSI PUBLIK
Saat itu di wilayah pantai barat dan selatan terdapat dua cara bercerita. Selain disajikan dalam bentuk hikayat, sebuah kisah juga disampaikan dengan cara dituturkan langsung secara biasa. Layaknya cerita seorang ayah, ibu atau nenek kepada anak atau cucunya menjelang tidur.
Di daerah ini, penceritaan dengan gaya terakhir tidak hanya dilakukan secara private di kamar tidur anak, tapi juga dituturkan di depan komunitas kecil hingga menengah.
Bercerita dilakukan di meunasah-meunasah pada malam hari tempat anak-anak muda tidur, di pos ronda gampong, disela-sela istirahat kerja di ‘pui padee’, di rumah orang yang mengadakan perhelatan, juga di ‘jambo keumiet drien’ sambil menunggu durian jatuh. Audience serius menyimak alur kisah penuh suspense yang dituturkan. Ada beberapa tokoh penutur di sana, salah satu ahlinya adalah M. Yahya.
Sponsored
EKSPERIMEN AWAL
Selain memiliki sifat kritis, M. Yahya muda juga memiliki sifat pantang puas, terutama untuk teknik bercerita. Dia memimpikan bisa mengembangkan suatu bentuk bercerita yang lebih dramatis dan lebih menarik. M. Yahya kemudian memulai eksperimennya dengan mengeksplor seni tutur ini.
Dalam masa-masa pencariannya dia jatuh sakit, mengalami demam panas berkepanjangan. Saat demam meninggi, dia sering melantur tak karuan (dalam bahasa Aceh di daerah Manggeng disebut ‘meuletee-letee’).
Bukan cuma seminggu atau dua minggu, namun demam panas kronis menderanya hingga waktu yang sangat lama. Ia pun semakin sering meuletee-letee. Anehnya, lanturan M. Yahya selalu seperti orang yang sedang bercerita atau berdendang sendirian.
DISANGKA GILA
Lama kemudian baru M. Yahya sembuh, namun ia mengalami kelumpuhan akibat penyakitnya. Di kampung itu lumpuh disebut lapee.
Dengan kondisinya sekarang, M. Yahya mulai terlihat lebih aneh. Dia mulai sering bercerita sendirian, berakting sendirian dan bersenandung sendirian. Mirip gaya melanturnya ketika demam.
Tanpa menghiraukan ada yang melihatnya atau tidak, kebiasaan barunya terus berlanjut, bahkan semakin menjadi-jadi. Ini membuat banyak orang di sekitarnya menganggapnya sudah gila. [2]
INOVATOR
Walaupun menjadi ‘lapee’ setelah sembuh, minatnya pada seni tutur tak pernah luntur. Bahkan masa-masa ini adalah periode penting dalam hidupnya. M. Yahya mulai menemukan bentuk baru atas pencariannya selama ini. Dia mulai memikirkan menggunakan properti untuk penampilannya.
Lalu diambilnya sebuah bantal dan dibalutnya dengan tikar pandan. Dibuatnya pula sebuah pedang dari pelepah kelapa. Dia mulai berlatih menggunakan properti ini untuk memvisualkan cerita. Properti ini sekaligus digunakannya juga untuk memunculkan unsur musikal dalam seni peugah haba atau meuhaba.
MAK LAPEE
Ia kemudian tampil kembali di hadapan publik. Kreasi barunya pun dipertontonkan.
Publik surprise!
Seni tutur gaya baru ini mencengangkan penonton. Cerita yang dulunya disampaikan dengan cara biasa kini menjadi lebih atraktif dan dramatis.
Kisah ‘Dang Deria’ dikenang sebagai kisah yang pertama kali dibawakannya dengan gaya ini. Selanjutnya Dang Deria menjadi masterpiece dan spesialisasinya M. Yahya. Ia pun jadi populer dengan nama panggilan baru, ‘Mak Lapee’ atau kadang-kadang ‘Apa Lapee’.
Kini Mak Lapee mulai sering dipanggil ke acara-acara hajatan dan keramaian. Hampir seluruh daerah pantai selatan dan pantai barat Aceh dikunjunginya, untuk menghibur pengemar.
[easy-tweet tweet=”Mak Lapee, Inovator Seni Peugah Haba dari Manggeng” user=”hikayat_aceh” hashtags=”maklapee”]
MUSISI
Bukan cuma ahli peugah haba atau meuhaba atau meuhikayat, Mak Lapee juga dikenal ahli memainkan bansi atau suling dengan tiupan satu nafas tanpa henti.
Disuatu ketika, Mak Lapee mempertontonkan kemampuanyanya meniup bansi dalam satu napas hingga lebih dari 15 menit! Karena kemampuannya itu, banyak orang meyakini Mak Lapee memiliki kekuatan magis. [3]
EDUKATOR
Mak Lapee telah membuktikan dirinya sebagai pengembang seni tutur. Mak Lapee telah memperkenalkan Peugah Haba ke publik hingga diterima menjadi suatu entitas seni sastra tradisi. Disamping itu, Mak Lapee ternyata adalah seorang edukator handal.
Salah satu muridnya yang paling terkenal adalah Tgk. Adnan PMTOH. Murid tertua Mak Lapee ini adalah putra asli Manggeng yang kemudian berhijrah dan menetap di Meureudu Pidie.
Ada juga Zulkifli (Bang Zul), lelaki asal Lhok Pawoh Manggeng yang kemudian menjadi murid generasi berikutnya.
Generasi terakhir yang menjadi murid langsung Mak Lapee adalah putra kandungnya sendiri. Anaknya itu bernama Muda Balia.
Kesemua muridnya menjadi populer di masyarakat, baik semasa dan setelah kepergian Mak Lapee.
Selain itu muncul dan populer juga tukang Peugah Haba lain yang belajar secara tidak langsung pada Mak Lapee. Dalam sebuah penelitian, penulis menemukan nama Nek Indra Patra dan Ali Meukek yang belajar secara tidak langsung pada Mak Lapee.
Diantara murid-murid Mak Lapee, dua diantaranya mengikuti jejaknya sebagai edukator.
Tgk. Adnan PMTOH merupakan guru dari Jakfar PMTOH dari Aceh Utara dan Agus Nuramal. Nama yang disebut terakhir lebih dikenal dengan Agus PMTOH. Dia kemudian melakukan suatu pembaharuan dengan gayanya sendiri.
Zulkifli atau bang Zul mempunyai murid yang berasal dari Bakongan Aceh Selatan. Belakangan muridnya tersebut kerap tampil di Banda Aceh. Publik mengenalnya dengan nama Muda Balia, nama yang sama dengan putra Mak Lapee.
DILUPAKAN
Zaman berganti, generasi baru muncul. Alternatif hiburan yang semakin banyak perlahan-lahan menggeser dominasi Peugah Haba saat itu. Mak Lapee perlahan dilupakan.
Di akhir kiprahnya, sesekali dia mendapat undangan. Dengan sisa tenaga dan nafasnya yang sudah pendek ia pun tampil.
Mak Lapee semakin uzur dan ringkih. Bulan Ramadhan tahun 1983 sang troubadour dari pantai selatan Aceh berpulang ke rahmatullah. Di Gampong Blang Manggeng, Kecamatan Manggeng, Kabupaten Aceh Selatan, Mak Lapee meninggalkan dunia dalam usia lebih kurang 90 tahun.
Mak Lapee pergi meninggalkan seni pertunjukan hikayat gaya baru yang diciptakannya.
Mak Lapee pergi meninggalkan beberapa penerusnya.
Sayangnya,
Mak Lapee pergi tanpa pejabat dan politisi negeri ini yang mengunjungi.
Mak Lapee pergi tanpa media massa yang mengabari.
Mak Lapee pergi dalam kemiskinan harta duniawi, tanpa penghargaan dan bintang jasa dari negeri.
SYAIR TERAKHIR
Menjelang akhir hayatnya Mak Lapee sering melantun syair ini di penutup setiap penampilannya:
Eeeeeeeeeeee...
Sayang ka u blang gaseh ka u glee
Oh habeh guna han so ingat lee
Boh rang kilah boh rang kileh
Ceurita lon ka habeh seubab umu ka jula
Umu ka jula nasib meusampo
Bak Allah sidro bandum ta gisa
Jakarta, 09 April 2016
Tulisan ini dibuat atas permintaan M.Y. Bombang alias Apa Kaoy, dalam rangka menghadirkan Muda Balia Manggeng (putra dan penerus Mak Lapee) pada acara Pentasagoe 16 April 2016 di Banda Aceh
Editor – Moritza Thaher