Perayaan, Tepuk Tangan, dan Pertanyaan yang Tersisa
Saya hidup di lingkungan yang suka merayakan.
Bulan lalu, saya merayakan ulang tahun ke-56. Saya lahir tepat 11 hari sebelum Apollo 11 membawa Neil Armstrong dan Buzz Aldrin mendarat di Bulan.
Tanggal 30 April lalu, saya juga merayakan Hari Jazz Internasional yang diprakarsai UNESCO, dengan sebuah pementasan di Banda Aceh. Di tanggal yang sama, putra pertama saya merayakan ulang tahunnya yang ke-31.
Hampir setiap hari saya melakukan perayaan, layaknya selebrasi pemain bola yang baru saja mencetak gol.
Bagi saya, perayaan adalah penanda pencapaian. Kecil atau besar, saya selalu menghargainya.
Selesai membuat aransemen musik, saya rayakan. Selesai berjalan keliling stadion atau lapangan Blang Padang, saya rayakan. Selesai mengajar murid di Sekolah Musik Moritza saya juga rayakan.
Itu kebanyakan perayaan pribadi. Tapi kalau soal perayaan bersama-sama, saya juga tak mau ketinggalan.
Bulan Agustus ini penuh tanggal istimewa: Hari Pemuda Internasional, Hari Kemanusiaan Sedunia, Hari Kemerdekaan Indonesia, dan Hari Peringatan MOU Damai Aceh.
Hari ini, MOU Damai Aceh genap berusia 20 tahun. Selama 19 tahun terakhir, saya merayakannya tanpa pernah absen. Tapi tahun ini, saya mulai berpikir ulang. Apakah karena makna MOU mulai memudar?
Bukan.
Saya cuma ingin memastikan, apa yang saya rayakan benar-benar pantas dirayakan. Sebab tanpa alasan yang jernih, perayaan hanyalah tepuk tangan kosong. Bergema sebentar, lalu hilang bersama keramaian.
Dan jika begitu, siapa yang sebenarnya kita rayakan, momen itu, atau ego kita sendiri?