Tuan Pembual | Cerpen oleh Saiful Bahri
Kamilah rakyat yang tersekat, terjerat, melarat, selalu dalam sekarat, dan selalu saja terbuai-buai dalam decak indah manis bual-bualmu, wahai Tuan-Tuan Pembual.
Kamilah rakyat yang tersekat, terjerat, melarat, selalu dalam sekarat, dan selalu saja terbuai-buai dalam decak indah manis bual-bualmu, wahai Tuan-Tuan Pembual.
Sibuk sekali aku menghitung-hitung diri! Benarlah firman-Mu ya Allah, hitung-hitunglah dirimu, sebelum engkau Ku-perhitungkan.
Kuarungi lautan puing kehancuran sebuah peradaban, menyisir lautan mayat yang bertebaran, tumpang tindih, tersangkut-sangkut, terhimpit-himpit di antara sampah dan reruntuhan, untuk menujumu Cot Lamkuweuh.
“Untuk pengobat penyakitku, selama ini tiap pagi aku minum air kencingku sendiri,” ujar Sang Presiden tiba-tiba.
Agaknya penduduk kota saya telah kehilangan sesuatu yang entah apa, yang pernah jadi miliknya, yang paling dicintainya.
Maka, ketika ada tawaran kerja dari sebuah tempat hebat yang peduli hajat hidup orang banyak di kampungku, cepat-cepat peluang itu kusosor dengan suka cita.
Kata para pawang, senyum-senyuman Abang Garang sulit-sulit tertunaikan dolar, ringgit, pound, dirham, gulden apalagi rupiah.
Di musim badai Tukang Kebiri tak lelah-lelah menangguk rezeki demi rezeki, karena di musim ini banyak mangsa lupa diri, jinak sekali untuk dikebiri.
Taman itu, Taman Sari yang berpuluh tahun dielu-elukanya itu, kini pongah mencibir-cibir kekecewaannya. Said merasa diledek-ledekan oleh sebuah bangunan megah setengah lingkaran yang berdiri di atas bekas situs-situs kenangannya.
“Tak pernah jadi! Tak akan jadi-jadi jika sudah ingkarkan harmoni. Usah impikan jadi jika bersepakat kangkangi janji-janji. Masa bodoh bisa jadi, jika semua bergotong royong agar tak jadi-jadi!”