Presiden Rex

Presiden dalam cerpen ini adalah : Hasbi Burman (Seorang seniman Aceh), yang dijuluk Presiden Rex oleh Bre Redana (wartawan Kompas) yang beritanya dimuat di koran Kompas pada tanggal 2 Februari 1990.

Kala penanggalan Masehi merujuk pada 8-8-1988 di Meunasah Tuha taman itu kau pernah bergumam : tubuhku boleh luruh, cintaku tak pernah luluh. Maka sejak itu mulailah kau kukagumi. Mulailah kau cecar aku dengan petuah-petuah syair berseling getah latah hikayat-hikayat mirismu. Mulailah kau jungkirbalikkan aku dalam kepungan kata dan cerita derita bangsa. Larutlah aku dalammu!

Dua tahun setelah larutku dalammu, engkau pun diangkat menjadi seorang presiden : Presiden Rex! Aku ingat hari itu Jum’at, kala penanggalan Masehi merujuk pada 2-2-1990. Berita pengangkatanmu itu masih kukliping dari sebuah suratkabar bernama Kompas. Ada potretmu, anakmu dan anak tangga istanamu menyelip disela-sela pemberitaanmu di surat kabar itu. Garang sekali tampil rupamu di lembar itu, ketika itu.

Setelah itu hari-hari kita terpelanting begitu cepat. Masih sempat sama-sama kita catat tentang Gurita yang tenggelam menjelang lebaran, kumuhnya perang dan kusutnya wajah-wajah pengungsi di tanah kelahiran, dan perginya kawan-kawan kita sepermainan di Meunasah Tuha taman itu secepat sekedip mata di pagi minggu akhir Desember itu. Begitu cepat waktu berlalu….

Dan sore ini, kala penanggalan Masehi merujuk pada 7-7-2007, setelah hampir 19 tahun berlalu, setelah sekian lama tak lagi kita singgahi Meunasah Tuha itu, langkah-rezeki-pertemuan-maut, mempertemukan kita kembali di kantin taman itu. Sore ini jadi sore bersejarah bagi kita, karena setelah sekian waktu berlalu kita kembali ke taman ini, yang menurutmu ini adalah kampung tua bagi kita.

“Sudah ada pergantian Presiden?” tanyaku.

“Belum!” jawabmu singkat.

“Tapi ‘kan situ sudah tua!”

“Tentu!”

“Kapan situ lengser?”

“Entah!”

“Lho?!”

“Ya!”

Sama-sama kita memandang Meunasah Tuha di sudut belakang taman ini. Sama-sama pula kita lihat masa 19 tahun yang lalu, ketika kau, aku, Din dan Mus menghabiskan hari-hari merangkai syair, membungkus cerita, mengandai-andai menjaga + mengubah peradaban. Sesekali masa dalam masa-masa itu ada pameran lukisan, sandiwara-sandiwara, baca-baca syair, main-main band dan kemah-kemah seniman di taman ini. Ah, ringan sekali masa-masa itu. Sepertinya tanpa beban. Liar. Indah. Manis untuk dikenang-kenang.

Tetapi ketika kuurut-urut kembali penanggalan dan angka-angka di Tahun Masehi itu : 8-8-1988, 2-2-1990 dan 7-7-2007, aku menangkap firasat aneh tentangku dan tentangmu Presiden! Firasat yang sangat lumrah menurut banyak orang, tetapi sangat unik menurutku. Firasat angka! Firasat waktu! Firasat yang Aceh : langkah, rezeki, pertemuan, maut! Ada apa ini? Kenapa bisa-bisanya seperti ini? Aku yakin ini bukan main-main dan sekedar reka-reka! Aku kelabakan. Badan gemetar dan mendadak berkeringat. Celingak-celinguk mataku liar menyisir seantero taman itu. Ah, firasat itu….

“Untuk pengobat penyakitku, selama ini tiap pagi aku minum air kencingku sendiri,” ujar Sang Presiden tiba-tiba.

Tak kuacuh ocehannya itu. Aku semakin terperosok dalam hitung-hitungan firasat. Aku melebur dan berpusar-pusar dalam angka-angka firasat : 8-8-1988, 2-2-1990, 7-7-2007. Apa ini? Ada apa ini? Mengapa ini? Siapa ini?!

“Tubuhku boleh luruh, cintaku tak pernah luluh,” lirih dan malu-malu kembali kau bergumam.

Banda Aceh, 10 Juli 2007

BACA JUGA:  Tuan Pembual | Cerpen oleh Saiful Bahri