Tuah Haji Mo

Haji Mo sepertinya tak pernah tua. Pancar teduh wajahnya, membinar sejuk embun dini pagi yang bergayut manja di pucuk perdu dan rumput-rumput liar. Rengkah senyumnya damaikan resah segala gundah. Tutur syahdu suaranya melipur jiwa-jiwa yang gerah, menyentil gairah darah merah agar hidup seutuhnya hidup. Tetapi ada masanya Haji Mo berketus-ketus, mengketuskan yang tak berkenan di hati, melenceng dari tata harmoni. Haji Mo haji harmoni! Haji Mo rasuki seni, suka-suka ia bernyanyi.

Melewati ujung senja di pekarangan Tikar Pandan malam minggu yang lalu, kembali kupapas Haji Mo setelah berkalang tahun tak jua-jua bertemu. Lama ia bersedekap diri di bawah rimbun pohon jambu, sambil matanya tak lekang menatap para penyanyi belia yang sedang tampil di pentas kecil itu. Mereka sedang mendendangkan luka hutan Aceh beriramakan jazz etnik yang menggelitik. Haji Mo mencoba melarut diri dalam lirik-lirik lagu tersebut dengan mengangguk-anggukkan kepala mengikuti irama musik.

“Marhaban ya Haji Mo! Marhaban….” sapaku sambil menghampirinya.

“Eh? Lho?! Wah…” Haji Mo agak terperanjat, lalu segera mengenali dan merangkulku.

“Alhamdulillah ya Haji! Alhamdulillah…”

“Subhanallah! Subhanallah!” desah Haji Mo sambil memapahku menuju ke kursi plastik.

Kami terduduk agak tertunduk. Lama terdiam. Tak tahu bicara apa. Tak tahu harus mulai dari mana. Terasa ada, terkata tidak. Waktu-waktu kami berlalu percuma. Rindu-rindu kami tercerabut tak jelas harus berbagaimana. Kami hening dalam bising.

Dalam hening yang bising itu kukenang kembali tuah-tuah Haji Mo yang bertuah. Suatu masa di kelampauan, jauh masa Mo belum berhaji, Mo konserkan Hikayat Kaum Tertindas. Mo bicarakan perdamaian di antara selang-seling desing peluru dengan bahasa nada iramakan cinta. Mo yang tuahkan Nyawöng bersandingkan Lintô telah merunut benang merah yang kusut menjadi benang hitam putih yang melingkar. Mo yang tabah digulung bala air hitam, tabah merela cinta yang pergi, bertuah guncangkan meja Kantin Taman Budaya, ajarkan gempa gelombang raya pada mereka yang tebar-tebar pesona iba. Tuah Mo jadi lucu sekali ketika penebar pesona iba itu terbirit lari, membungkus kecut yang terkejut dan tak sepicing pun berani menoleh lagi. Tuahmu Haji Mo! Wahai, tuahmu ya Haji Mo telah meremas-remas angan kenanganku digelinding malam di pekarangan Tikar Pandan yang hajatkan luncur Anti Tokoh di malam ini.

“Irama apa yang engkau tangkap di tanah ini setelah segalanya?” tanyaku malu-malu.

Haji Mo tercenung sejenak. Kemudian seulas senyum tersungging-sungging.

“Irama dosa!” jawabnya lirih.

“Dosa?”

“Ya! Buruk sekali irama dosa di tanah ini.”

“Jadi?”

“Tak pernah jadi! Tak akan jadi-jadi jika sudah ingkarkan harmoni. Usah impikan jadi jika bersepakat kangkangi janji-janji. Masa bodoh bisa jadi, jika semua bergotong royong agar tak jadi-jadi!”

“Wah…”

“Tidak wah! Bukan wah! Tetapi bah!”

“Iramanya bah?”

“Bah!”

“Kok bah?”

“Karena bah!”

Sekali ini Haji Mo marah. Jarang-jarang Haji Mo marah. Kalau Haji Mo marah tentu datang tuah-tuah. Aku tak tahu kali ini tuah apa lagi. Seperti biasa, kutinggalkan Haji Mo tanpa permisi dan basa-basi. Kulirik lapis petala timur langit pertama. Secuil bulan sabit tergantung pilu. Sebungkah tabu tanah kuinjak ngilu. Tersaruk haru kutapak sisa waktuku.

 

Ulee Kareng, 23 Februari 2008

BACA JUGA:  Tuan Pembual | Cerpen oleh Saiful Bahri