Seniman Aceh kerap menaruh kepekaan pada rapai, bahasa, dan adab sehari-hari—bukan pada hiruk-pikuk isu nasional.

Kepekaan Seniman Aceh

Kami seniman tua, kepekaan kami berbeda. Lahir dan besar di Aceh, hidup kami hanya berputar di kampung sendiri. Ke pusat kota pun jarang kami pergi. Dunia kami sederhana, begitu juga masalah yang kami anggap penting.

Kalau rapai jarang ditabuh, kami marah. Kalau dalail khairat tidak lagi terdengar, kami gelisah. Kalau hadih maja hilang, kami resah. Tapi kalau harga beras naik? Kami tidak turun ke jalan. Kami cukup menambah utang di warung. Kalau tidak bisa, kami mengurangi makan. Selesai.

Demo besar-besaran di provinsi lain hanya tontonan YouTube. Sama saja seperti melihat kerusuhan di Thailand atau Filipina. Saat kantor DPRD di Makassar dibakar, kami merasa itu urusan orang lain. Di sini kan tidak ada DPRD, yang ada hanya DPRA.

Yang benar-benar membuat kami susah adalah bila bahasa Aceh makin jarang dipakai, atau bendera Aceh tak juga dikibarkan. Kami lebih sibuk mengatur adab masyarakat kecil—misalnya soal pakaian. Untuk adab pejabat, kami diam. Itu urusan pribadi mereka. Lagipula, menegur pejabat sama saja dengan menutup pintu rezeki kami sendiri.

Relasi Seniman dan Pemerintah

Pernah ada teman seniman dari luar bertanya: kenapa seniman Aceh diam saja melihat kondisi Indonesia? Jawaban kami: urusan kami hanya dengan dinas kebudayaan dan pariwisata. Selama ada job, kami tenang. Kalau tidak kebagian, barulah kami protes. Kalau job datang dari gubernur, kami akan bersikap manis supaya tahun depan dipanggil lagi. Bahasa halusnya: loyalitas. Bahasa kasarnya: menjilat.

Kami juga tidak tertarik ikut-ikutan kegiatan seniman Indonesia. Apalagi ketika gubernur kami mengatakan bahwa kiblat Aceh bukan lagi ke Medan atau Jakarta, melainkan ke Kuala Lumpur dan Penang. Kami hanya tersenyum: baguslah, ada alasan baru untuk tetap sibuk dengan dunia sendiri.

Pada akhirnya, kami seniman Aceh selalu bersama ulama. Kalau ulama diam, kami pun ikut diam. Untuk apa repot-repot bergerak, kalau lebih aman menunggu undangan, honor, dan panggung yang disiapkan pemerintah?

BACA JUGA:  Hentikan Perdamaian!