Bohku: Ketika Keheningan Lebih Nyaring dari Tepuk Tangan

Malam itu, warung kopi di Taman Budaya Aceh yang biasanya hening mendadak ramai oleh sapaan hangat. Wajah-wajah akrab—langganan dan teman nongkrong—mengisi bangku-bangku. Saya memilih duduk di baris belakang, dekat dapur kecil yang menguar aroma kopi. Lampu menyala sederhana, tanpa efek dramatis, namun suasana perlahan menghangat saat Diyus Hanafi membuka acara pada tanggal 1 Juni 2025 lalu. Dengan pengantar yang memikat, Djamal Sharief—aktor teater senior Banda Aceh yang juga dikenal lewat pembacaan puisinya—membawakan puisi pertama, membuka perjalanan batin malam itu.

Pertunjukan berjudul “Bohku” ini sejak awal saya tahu bukan baca puisi biasa. Din Saja berusaha menciptakan pengalaman batin yang utuh. Meskipun tanpa efek visual dan suara istimewa, puisinya mampu membawa penonton masuk ke ruang refleksi pribadi. Dalam kesempatan ini, Din Saja terlihat begitu merangkul kebersamaan; ia tidak hanya menjadi pusat perhatian, tetapi juga mempersilakan beberapa penonton untuk tampil ke depan membacakan puisi yang ditulisnya. Momen ini menciptakan ritme dan jeda emosional yang membuat suasana terasa hidup, cair, dan jauh dari kesan kaku atau teatrikal.

Suasana warung kopi yang jauh dari panggung ideal justru menambah keunikan malam itu. Tidak ada batas panggung, lampu sorot, atau musik pembuka bombastis. Suhu ruangan terasa hangat hingga agak gerah, dan sesekali suara kendaraan dari luar masuk. Zoelfikar Sawang, yang juga turut membaca puisi Din Saja, sempat mengutarakan pandangannya tentang lokasi yang kurang representatif. Namun, justru karena kesederhanaan inilah puisi terasa begitu nyata—bukan sesuatu yang harus diperlakukan mewah, melainkan tumbuh dan bernapas di tengah kehidupan sehari-hari. Kondisi ini memungkinkan Din Saja untuk beradaptasi secara elegan, menurunkan volume suara, memperlambat irama, dan meningkatkan intensitas rasa. Ia menarik perhatian bukan melalui efek dramatis, melainkan lewat kesadaran dan ketulusan yang dalam.

Din Saja membacakan puisinya dengan pelan, intonasi natural, dan jeda yang pas. Ia tahu kapan harus diam, kapan menarik napas, dan kapan membiarkan kata-kata jatuh perlahan di tengah keramaian suara di sekitar. Ia bahkan membagikan naskah puisi kepada penonton, sebuah gestur yang semakin memperkuat rasa kebersamaan dan keterlibatan. Uniknya, di tengah sesi pembacaan puisi Din Saja, beberapa seniman lain turut memberikan warna tersendiri. Thayeb Loh Angen memilih membacakan puisinya sendiri, begitu pula beberapa pembaca lainnya. Bahkan Rafly sempat menyanyi secara spontan tanpa iringan musik saat diminta tampil ke depan, menambah sentuhan kejutan yang memukau.

Musik pengiring juga menjadi bagian tak terpisahkan dari malam itu. Sebelum panggung diserahkan kepada Din Saja, Ninien telah membuka pertunjukan dengan membawakan lagu “Tanoh Lon Sayang” ciptaan T. Djohan & Anzib, memberikan nuansa pembuka yang merdu. Selanjutnya, Aloel bermain gitar, Munzir di bass, Ilyas dengan biola, Joel Kande dengan Rapai Pasee, ditambah dua orang lagi yang memainkan suling dan rapai lain. Musiknya mengalir pelan dan datar, seperti napas yang tenang, menyatu harmonis dengan pembacaan puisi tanpa mendominasi. Tak ada nada yang tiba-tiba berubah atau mencolok; musiknya menenangkan, menjadi jembatan emosi yang mengisi ruang tanpa mengganggu fokus pada puisi.

Orang yang datang ke pertunjukan puisi semacam ini bukan hanya ingin mendengar kata-kata indah, tetapi juga ingin merasakan, ikut masuk ke dalam dunia yang lebih sunyi, jujur, dan terbuka. Din Saja piawai membangun jembatan itu, bukan hanya lewat puisinya, tetapi juga dengan memberi ruang bagi orang lain untuk bersuara, menjadikan puisi itu milik bersama. Penggunaan ruang tanpa panggung dan lampu sorot menambah kesan jujur dan spontan, mengingatkan kita bahwa puisi bisa hidup di ruang biasa, tumbuh dari interaksi sehari-hari yang alami.

Pertunjukan “Bohku” malam itu berakhir dengan keheningan yang bermakna, usai puisi-puisi terakhir dibacakan. Tidak ada tepuk tangan gemuruh, hanya desahan lega yang mengisi ruang. Diyus Hanafi kemudian menutup acara begitu saja, tanpa perpisahan yang formal. Rasanya seperti keluar dari lorong sunyi yang hangat dan terang. Sebagai penonton, saya diajak berjalan dalam perjalanan batin yang dalam. Sebagai pecinta puisi, saya belajar bahwa puisi tidak butuh panggung mewah untuk hidup. Cukup punya ruang yang tulus dan suara yang jujur.

BACA JUGA:  Kisah Unik di Panggung PKA 8