Hipotesa si Pengemis dan Pilkada Aceh 2017
Sore itu saya sedang menikmati kopi di pelataran terbuka warung langganan pinggiran kota ketika ia datang, mohon permisi untuk duduk di kursi samping saya (saya mengangguk), dan minta ditraktir secangkir kopi (saya mengangguk juga) lalu, ia membuka percakapan:
“Tiap saya berada di sebuah kota besar,” katanya, “pertama-tama yang saya perhatikan adalah jenis kendaraan yang lalu-lalang di jalan.”
“O, hmm…,” respon saya sekenanya.
“Jika kebanyakan adalah mobil-mobil dan motor-motor tua, saya akan menyimpulkan; berarti warga kota itu terdiri dari orang-orang yang bermental penuh percaya diri.”
“O, hmm…,” respon saya ala kadar.
“Jika yang lalu-lalang kebanyakan kereta angin dan beca dayung, berarti warga kota itu terdiri dari orang-orang yang berjiwa realistis.”
“O, hmm…,” respon saya hanya sebagai pelengkap sopan-santun.
“Jika kebanyakan warganya mengendarai mobil mewah dan motor baru, saya akan segera meninggalkan kota itu dan pergi ke kota lain.”
“Eh, kenapa?” tanya saya. Kali ini benar-benar penasaran.
“Sebagai pengemis, kami takkan mendapatkan apa-apa di kota yang semua warganya terbeban kewajiban membayar kredit kendaraan bermotor tiap bulan.”
Pulang Kampung
“O, begitu? Oya, cara Anda mengatakan sesuatu sangat bagus. Anda terlalu pintar sebagai pengemis.”
“Jika Pak Mus menganggap pengemis sebagai orang biasa-biasa saja, berarti selama ini Pak Mus keliru. Segeralah beristighfar, Pak.”
Karena pintar bertutur kata, saya yakin peminta-minta ini pasti berasal dari Medan, atau dari Palembang, atau dari Padang, atau bahkan dari Pulau Jawa.
“Oya, menurut saya, sekarang di seluruh kota besar di Indonesia orang pada naik mobil mewah dan motor baru, termasuk juga di Aceh. Lihat tuh di jalan.”
“Ya, Pak Mus benar.”
“Tapi kenapa Anda justru memilih Kota Banda Aceh ini sebagai wilayah operasional? Apakah semua orang Aceh toleran dan murah hati?”
“O, tidak. Ketika di kota-kota lain kami susah bertahan hidup, pilihan terakhir, ya…, pulang ke Nanggroe sendiri.”
Revolusi Mental
“Eh, rupanya Anda orang Aceh?”
“Ya. Tulen. Lagi pula di Aceh Abu-Abu Kandidat Pilgub-Pilbup-Pilkot lagi musim mengemis suara pada rakyat. Kami mau ikut sebagai penyumbang. Jangan mengemis melulu. Sekaligus mau menikmati sensasi dari kebalikan posisi.”
“Maksud Anda?”
“Betapa indahnya melihat orang-orang terhormat itu tersaruk-saruk kelimpungan jatuh-bangun menadah tangan ke segenap Nanggroe sebagai pengemis suara. Di sini apa beda mereka dengan kami.”
“Yach, beda dong,” tukas saya. “Mereka tidak mengemis uang receh seperti Anda. Mereka mengemis suara untuk jadi pemimpin. Tapi sudahlah. Yang saya heran, Anda cukup pintar orangnya, fisik pun sempurna. Kenapa memilih jadi pengemis?”
“Dasar saya manusia bermental pengemis, pintar pun tetap mengemis. Lagi pula di Nanggroe ini orang pintar tidak dibutuhkan. Anda boleh tak pintar sama sekali, tapi selama lihai mengemis suara, Anda akan jadi pemimpin.”
“Wah, keren kata-katamu.”
“Di Nanggroe ini, bencana alam membuat rakyat menjadi pengemis—atas nama perut. Pilkada membuat tokoh-tokoh politik menjadi pengemis—atas nama kekuasaan, popularitas dan uang, yang ujung-ujungnya ke perut juga. Kami tidak butuh alasan apa pun, langsung mengemis atas nama perut.”
Hipotesa Si Pengemis
“Menurut Anda, cara bertahan hidup yang paling mulia itu bagaimana?” tanya saya.
“Berdagang, bertani dan bisnis jasa.”
“Menurut saya, Anda bisa menggeluti ketiga-tiganya, tapi—lagi-lagi—kenapa memilih jadi pengemis?”
“Mental, Tuan Mus, mentalitas. Orang dengan struktur mentalitas pengemis seperti saya, ya, ke mana pun: mengemis.”
“Bagaimana mendobrak mentalitas yang kurang bagus itu—setidak-tidaknya menurutmu? Kan ada hadis yang menyatakan ‘tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah’?”
“Dengan berbagai cara, beberapa pengemis akan berubah, namun takkan semua. Selama dunia masih ada, pengemis akan tetap ada. Pengemis tidak dilahirkan oleh kemiskinan—”
“Haaa? Apa katamu?” saya agak tersentak di sini.
“Orang-orang kaya yang pengasih melahirkan pengemis dengan santun. Orang-orang kaya yang bakhil melahirkan pengemis dengan keterpaksaan. Dua-duanya menciptakan pengemis.”
“Sedangkan yang melahirkan para pengemis suara, itu siapa?” tanya saya iseng-iseng.
“Demokrasi,” katanya, dan di sini membuat saya tersentak lagi. “Maksudmu?” tanya saya lekas.
“Dalam pandangan Aristoteles, demokrasi itu kesewenang-wenangan orang ramai, disebut anarki massa—”
“Wah, kamu membaca Aristoteles juga?” potong saya tanpa sadar.
“Hanya kebetulan saya mendapatkan buku itu di tong sampah saat lapar di sebuah kota besar yang semua warganya mengendarai mobil-mobil mewah dan motor-motor baru tapi tidak mampu lagi bersedekah karena harus menabung ketat untuk melunasi kredit kendaraan mereka tiap bulan.”
“Aduh, jadi korelasi antara ‘kemewahan instan’ dengan merosotnya solidaritas antar sesama, itu benar adanya, ya?”
“Pasti.”
“Baik. Kita kembali ke demokrasi yang melahirkan para pengemis suara.”
“Tuan Mus pura-pura bodoh. Padahal jawabannya sederhana. Demokrasi adalah suasana dan tempat di mana suara massa berkeliaran sewenang-wenang menuju anarki tanpa juntrungan. Lalu Tarmizi Karim, Zakaria Saman, Abdullah Puteh, Zaini Abdullah, Muzakir Manaf dan Irwandi Yusuf datang mencoba mengelola suara-suara yang berserakan itu untuk mengarah ke mereka. Dengan gaya orasi yang membius. Dengan janji. Dan dengan apa pun yang dimungkinkan, sampai pada ikhtiar terakhir. Mengemis.”
“Sebagai pengemis kamu luar biasa pintar. Saya yakin, kamu pasti punya hipotesa-hipotesa cerdas untuk memprediksi siapa yang bakal jadi Gubernur Aceh di periode depan ini.”
“Saya tidak punya hipotesa, Tuan. Hipotesa-hipotesa itu cuma milik mereka saja. Misalnya, jika kelak Tarmizi Karim yang terpilih, itu berawal dari Hipotesa Birokratis (beliau birokrat).
“Jika Abdullah Puteh yang terpilih, itu berawal dari Hipotesa Historis (beliau pernah jadi Gubernur Aceh).
“Jika Zaini Abdullah yang terpilih, itu berawal dari Hipotesa Praktisis (beliau Gubernur Aceh yang sekarang).
“Jika Muzakir Manaf yang terpilih, itu berawal dari Hipotesa Teologis (beliau didukung Ulama Aswaja).
“Jika Irwandi Yusuf yang terpilih, itu berawal dari Hipotesa Saintifis (beliau memiliki kedekatan dan bisa membawa pesawat terbang sebagai produk sains dan teknologi mutakhir).
“Jika Apa Karya yang terpilih, itu berawal dari Hipotesa Metafisis (sesuatu yang berasal dari renungan spekulatif tentang hal-hal yang kongkrit, atau sesuatu yang berada di luar kepastian empiris, tapi jangan dianggap sepele. Matematika itu ilmu berbasis khayali, tapi kepastiannya mematikan).”