Menjelang Punahnya Teater Rakyat di Aceh

Oleh : Musmarwan Abdullah

“Halo-halo! Saudara-saudara! Nanti malam! Jangan lupa! Datanglah ke lapangan bolakaki untuk menonton pertunjukan sandiwara Sinar Jeumpa dengan sebuah drama cerita yang berjudul “Cinta Hán Putôh, Kawén Tak Jadi”. Saudara-saudara! Kaôm Mi, kaôm Ayah, kaôm Mak nyang meutu’ah. Jangan lupa….”

Suara itu menggema dari mik lonceng di kap depan mobil tua. Jalannya pelan-pelan. Mereka akan berkeliling ke seluruh penjuru kecamatan. Dulu, sebelum 1995, ‘halo-halo’ itu cukup sering terdengar di jalanan tepian desa di kampung kami kala petang menjelang sore. Sekarang, di sebatas impian pun, kau takkan mendengarnya lagi.

Masa Sukacita

Pertunjukan pusparagam yang di negeri kami dikenal dengan “sandiwara”, kini hanya menyisakan kenangan di sebatas hati, terutama di jiwa kami yang hidup di pedalaman.

Semarak nian malam-malam kala itu. Langit terang bertabur bintang. Derap kaki kanak-kanak putra dan putri menuju ke rumah-rumah pengajian di desa. Dan ketika waktu shalat Isya tiba, kami pulang dengan keriangan yang lain. Ayah dan ibu akan pergi bersama, mengajak kami ke lapangan bolakaki di ibukota kecamatan. Menonton pertunjukan sandiwara.

Orang-orang dewasa tak kalah riangnya membayangkan kesemarakan suasana malam di tengah lapangan yang luas, sembari berkumpul bersama, menonton berbarengan, dan sekali-sekali memberikan komentar terhadap berbagai improvisasi yang ditunjukkan para aktor dan aktris di atas panggung.

Betapa terkesan mereka pada kisah-kisah seperti, “Bulòh Peurindu”, “Dukòn Palsu”, “Matee Lam Ranto”, “Raja Siujud” dan lain-lain. Tiada kan meredup kulit kelopak mata menyaksikan kekuatan teatrikal para pemain dalam setiap adegan meski jam telah berada di pukul satu malam dinihari. Hati dan jiwa terus dihanyut sampai ke penghujung babak. O, betapa rindunya aku pada saat-saat seperti dulu itu.

Pertunjukan itu memang unik. Diawali dengan layar panggung yang terbuka pelan-pelan bagai gelombang laut yang beriringan dengan riak kecil menuju ke tepian; beberapa lagu yang diiringi band dipersembahkan sebagai penampilan perdana; kemudian satu-dua tarian ikut dihidangkan, biasanya tarian Melayu Deli sebagai penutup acara hiburan. Setelah itu, mengawali acara drama, satu-persatu pemainnya diperkenalkan. Selanjutnya pembawa acara akan berkata, “Jinoe mari geutanyoe saksikan adegan pertama di babak yang pertama di rumoh Cut Ma Ruhoiiii…!”(misalnya). Dan layar pun dibuka.

Setelah babak kedua berakhir, penonton yang tadi terhanyut dalam perjalanan cerita—apalagi jika drama mengisahkan kesedihan atau ketegangan—kembali dikendurkan sarafnya dengan pertunjukan nyanyian yang diiringi band, tarian serta pertunjukan komedi yang dikemas dalam satu adegan. Di acara lawakan inilah penonton akan dibawa ke suasana yang penuh kelucuan hingga di segenap lapangan derai tawa yang terpingkal-pingkal membahana.

Bila hati kami terkenang kembali akan kesemuanya itu, malam-malam yang indah bertabur kesemarakan, kami yang hidup di pelosok pedalaman, pasti akan merindukan kembali pertunjukan piasan malam sebagai panggung hiburan rakyat seperti Biola, Seudati, apalagi Sandiwara. Tetapi apa daya, hidup tak selamanya mengalir bagai sungai yang hanya mengusung satu warna air saja. Kala hujan di gunung, sungai pun berwarna keruh.

Dijemput Senyap

Negeriku yang mungil ini, sejak datangnya Belanda untuk berperang di abad lampau, terus-menerus dalam suasana perlawanan terhadap kekuatan asing. Setiap generasi terus melahirkan generasi perang berikutnya. Belanda, Jepang, Jakarta, di tanah perseteruan ini tak pernah menang. Dan kami pun tak pernah surut untuk berlaku tunduk. Maka kami selalu sadar, damai berarti menunggu perang berikutnya.

Diawali maklumat yang dikeluarkan Gubernur Aceh kala itu, 1990, tentang pelarangan izin semua bentuk tontonan malam, dan “dunia lepas ‘Isya” pun tiba-tiba terkapar di suasana bagai kembali ke zaman batu. Hening, sunyi, berkelumun dalam sepi, seumpama nuansa kematian di balik gelapnya tabir dukana. Selamat tinggal lampu-lampu minyak yang berkelap-kelip di seputar lapangan milik ibu-ibu yang menjual kacang goreng, jagung rebus dan segala penganan ringan yang asyik dikunyah sembari mata melotot ke panggung pertunjukan. Selamat tinggal semua keceriaan di malam hari.

Politik berkobar lagi. Sentimen Republik dan kaum gerilyawan mulai terasa keruncingannya yang menjadikan suatu referensi bagi kepala daerah untuk mengeluarkan maklumat pelarangan piasan malam. Tetapi itu bukan satu-satunya alasan. Gubernur Aceh kala itu, yang kata orang memiliki cara pandang sangat berorientasi pusat, sangat membutuhkan kegalauan politis dalam kehidupan rakyat agar selanjutnya dengan mudah dapat digiring ke suatu sikap politik tertentu sebagaimana yang diinginkan Jakarta, yaitu dalam konteks pemilihan umum tahun 1992 di mana partai mereka yang sedang berkuasa wajib menang di Aceh.

Dan, hari itu, aku mendengar dengan takzim tuturan kisah hidup yang mengalir deras dari mulut berbibir hitam pengaruh kerak tar rokok yang ditimbun bertahun-tahun milik Ma’e Kakek, seorang tokoh teater tradisional yang sangat kukagumi.

Romantika Ma’e Kakek

Katanya, kala itu ia pun terpelanting bagai penidur terjaga dari mimpi buruk. Berhenti piasan malam maka berhenti pula pertunjukan sandiwara. Padahal sejak berusia tigabelas tahun dia sudah menggeluti dunia itu, baik sebagai wahana interpretasi jiwa seni maupun sebagai aktifitas cari nafkah. Dia tidak bisa berbuat apa-apa selain berteater. Dia amat menyadari itu. Dan hari-hari pun dilaluinya dalam mendung kepengangguran yang menggelisahkan.

Aku menemuinya di suatu pagi Jum’at 10 Agustus 2007. Bukan apa-apa. Hanya sekedar rindu ingin menatap kembali wajah orang yang dari tuturan-tuturannya dulu di atas panggung, aku banyak mendapatkan kebahagiaan batin dan kearifan nurani serta cara berpikir yang santun lewat perspektif tradisi.

Masih dapat diingatnya satu-persatu jejak langkahnya di masa lalu. Pertama sekali ia terpental ke panggung dunia malam di usianya yang masih belia itu adalah di “Sinar Desa Geulanggang Labu”, sebuah group sandiwara yang berasal dari Bireuen. Kemudian di “Bintang Harapan” dari Krueng Manee. Itu di seputaran tahun 1960. Berikutnya ia bermain di “Jeumpa Aceh”, “Sinar Jeumpa”, “Sinar Harapan” dan “Eka Dharma” dari Sigli. Dan lewat group-group tenar itulah ia hampir genap langkahnya menjejak setiap jengkal tanah Nanggroe ini, dari kota sampai ke desa dan bahkan sampai jauh ke dusun-dusun nun di pedalaman.

Di mana-mana, lelaki berkulit hitam dengan postur bulat agak pendek ini dikenal dengan sebutan Ma’e Kakek. Kalau di daerah pantai Barat-Selatan seperti Calang, Meulaboh, Nagan Raya, Blang Pidie, Tapak Tuan dan Kutacane, lelaki yang bernama asli Ismail Husen ini dikenal dengan sebutan Ayah Ma’e Kakek.

Tambalan “Ayah” dan “Kakek” pada namanya, adalah karena ia sering berperan sebagai ayah dan kakek dalam berbagai tema drama yang dimainkannya. Sosok ayah yang ia perankan biasanya akan kengalir dalam suatu penjiwaan dramatisasi prestigious sehingga penonton selalu mengesaninya sebagai ayah yang bijaksana. Dan itu sangat dipengaruhi oleh kemampuannya berdialog mengungkapkan suasana dengan sistem bahasa tradisi, ungkapan berpantun dan hadih-hadih maja. Begitu pula kala ia berperan sebagai kakek. Malah kelihaiannya memainkan lidah tua dan sengau renta yang berujung pada keluarnya kata-kata dari mulut yang seakan-akan tanpa gigi, membuat ia benar-benar seperti seorang kakek tua di atas panggung.

Dan aku terus mendengarnya dengan takzim. Aku suka mendengar ia bercerita khusus untukku seorang. Tidak sebagaimana dulu, dia tidak dapat dimiliki oleh seseorang karena dia adalah milik publik. Dia idola. Dia sangat terkenal.

Banting Setir

Di seputaran tahun 1993, diam-diam sandiwara mulai dipertunjukkan lagi, terutama di daerah-daerah tertentu seperti Aceh Barat dan Aceh Selatan. Dalam kurun ini sang negeri masih berstatus Daerah Operasi Militer. Namun di dua wilayah pantai Barat-Selatan itu eskalasinya tidak setinggi jalur Utara-Timur seperti Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Dan Ismail Kakek kembali menemukan dunianya yang hilang.

Memang senantiasa tercipta ruang dan waktu untuk berekspresi, apalagi ekspresi seni. Tapi dalam suasana politik yang gelisah di bingkaian tahun 90-an itu, ada dua cara masyarakat menginterpretasi kembalinya pertunjukan sandiwara. Pertama, pertunjukan malam hari itu memang sengaja diadakan untuk menciptakan suasana umum yang bebas infiltrasi, di mana para spionase dan intelijen tentara dapat mencapai akses-akses tertentu yang tidak mungkin didapat dalam suasana biasa.

Ini terindikasi dari keberadaan group-group sandiwara ketika itu yang pada umumnya dipimpin orang-orang dari jajaran kemiliteran. Misalnya, “Intan Mutiara”. Group sandiwara dari Aceh Besar ini dipimpin salah seorang anggota Koramil Indra Puri, Aceh Besar. “Bungong Ban Keumang”, group sandiwara dari Susoh, pimpinannya adalah salah seorang anggota Koramil Pulo Kayee. Begitu juga group sandiwara “Putri Naga” dari Aceh Selatan, pimpinannya juga seorang militer.

Yang kedua, karena masa itu suasana sedang konflik, orang sipil tak berani mengambil risiko memimpin komunitas piasan malam yang rentan dengan akibat-akibat dari perseteruan parapihak yang bersenjata. Tapi terlepas dari suasana politik dan motif-motif tersembunyi pihak tentara, Ayah Ma’e Kakek berkibar lagi namanya dan baluem nafkahnya pun terisi lagi.

Tapi di tahun 1995, aktifitas hiburan malam di lapangan-lapangan terbuka benar-benar terhenti. Pertikaian tentara Republik dengan kaum gerilyawan meruncing dengan eskalasi menaik, bagai ujung tombak yang diasah dengan gerenda. Maka semua group sandiwara menggudangkan alat-alat dekorasinya. Orang-orang yang pernah dibesarkan dan berkibar tenar namanya dari atas panggung-panggung itu, berpencaran dengan berbagai alternatif cari nafkah. Ibnu Arhas terjun ke politik, bergabung dengan PPP kala itu. Sofyan Mus berwiraswasta di Bireun. Udin Tiger jadi petani di pedalaman Aceh Tamiang. Nasruddin Jamal terekrut sebagai petugas pemadam kebakaran kabupaten Pidie. Lelek (Said) Mubin jadi pegawai salah satu BUMN di Banda Aceh. Mariani M terjun di bisnis, sementara suaminya yang juga aktor panggung, kini berjualan kaset CD di pasar Trienggadeng.

Ma’e Kakek terpental ke kampung halamannya di pinggiran ibukota Keude Luengputu, kecamatan Bandar Baru, Kabupaten Pidie Jaya, tanpa memiliki suatu aktifitas khusus. “Hanya sekedar membantu-bantu isteri dalam kegiatan cari duit sehari-hari,” katanya padaku di separuh pagi Jum’at 10 Agustus itu sembari duduk santai di warung kopi seberang jalan rumahnya.

Idola

“Itulah gubuk kita,” kata Kakek saat pertama jumpa seraya mengarahkan telunjuknya ke sebuah rumah kecil berkonstruksi kayu yang letaknya persis di tepian jalan negara Banda Aceh-Medan, sekitar seratus meter dari pasar Luengputu. “Kita adalah orang kaya di sini,” sambung dia untuk membahasakan kenyataan sebaliknya sebagai sebuah ungkapan ironisasi-diri yang memang lazim dia tuturkan kala berperan sebagai ayah dari keluarga miskin di atas panggung.

Dulu antara aku dan dia memang tak mungkin punya kesempatan duduk sembari berbincang bebas seperti ini. Waktu itu aku masih sangat remaja, tak mungkin punya keberanian mengajak idola berakrab-ria. Setiap group sandiwaranya manggung di ibukota kecamatan kami, kemana pun dia berjalan-jalan di siang hari saat tidak manggung, kami para pemuda dan anak-anak cuma berani mengekori dia dari belakang sambil sekali-sekali memanggil namanya sebagai ungkapan simpati. Dan saat dia menyahut, “Ya, ya. Peu haba aneuk meutu’ah?” kami pun berbesar hati bukan alang-kepalang.

Ia memilki lima anak. Dan dari empat yang sudah berumahtangga, ia dikaruniai empat cucu. Usianya enampuluh tahun kini. Tapi kelihatannya ia masih sangat energik. Dari langgam fisik dan performan wajah serta penggayaan gerak tubuhnya Kakek seperti bukan orang seusia itu.

“Seniman pada umumnya memang awet muda,” kata Kakek seperti berkata bukan untuk dirinya sendiri kala aku menyinggung aura kemudaan di segenap eksistensinya. “Yang penting hati jangan culas. Tak perlu ada rasa iri, apalagi dengki. Lagi pula saya tak mau susah-susah mikirin ini-itu yang bukan porsi saya. Ibarat sigeuruet tameeh, seunang kuduek, sakeet kuweh.” (umpama si penyandar di tiang rumah, senang aku betah, susah aku pindah), demikian kira-kira makna kalimat ujungnya itu.

Bukan Alternatif

Terkait dengan semangat kanun syariat Islam yang sekarang hendak diterapkan secara kaffah di negeri kami di mana implikasinya akan sampai ke usaha pemisahan lelaki-perempuan dalam suatu acara tontonan malam di lapangan terbuka, rasanya sandiwara tak mungkin lagi dikembalikan ke tengah-tengah masyarakat. Tentang ini Ma’e berkomentar:

“Penonton sandiwara itu sangat ramai kendati di sebuah tempat pertunjukannya diadakan sampai setengah bulan lamanya. Tidak mungkin menarik garis pisah di tengah lapangan. Ada saja nanti yang menyusup ke wilayah terlarang. Ini malah bikin suasana lebih ribut. Sementara pasangan pengunjung yang berstatus suami-isteri, apakah di samping tiket, mereka harus menunjukkan pula akta nikah? Jelas ini sangat merepotkan panitia penyelenggara.”

“Bagaimana kalau sandiwara digelarkan siang hari agar terhindar dari kemungkinan perilaku kendur moral pria-wanita dalam kegelapan?” tanyaku sembari menawarkan batangan rokok berikutnya untuk disulut-sambung oleh Kakek yang kelihatannya memang sangat menikmati kepulan-kepulan asap bernikotin itu.

“Nah, ini terkait lighting dekorasi, sistem perlampuan untuk mendukung suasana sesuai dengan latar dan setting cerita. Kalau misalnya kisah mengehendaki suasana malam, atau hujan di keremangan senja yang diiringi kilat dan petir, jelas, sekuat apapun daya nyala lampu listrik, tak akan bisa menandingi matahari. Dari sisi ini, kekuatan ciri khas sebuah pertunjukan sandiwara akan hilang.”

“Bagaimana kalau dipertunjukan dalam sebuah gedung yang didesain khusus seperti gedung tertutup Taman Budaya Aceh, misalnya?”

“Sandiwara dengan lapangan terbuka adalah suatu kesatuan yang sudah mentradisi. Ini bukan pertunjukan untuk kaum elit yang hanya segelintir di kota-kota. Ini piasan rakyat dari berbagai kalangan dan status sosial. Orang-orang di kampung dan di dusun sana, mana mau menyiksa diri duduk berjam-jam dalam sebuah gedung sambil menghirup sepenuh-penuh dada udara bohong-bohongan dan beracun pula yang keluar dari AC-AC itu.”

Sebatas Pengganti

Sekarang, sejalan dengan kemajuan zaman, sebagai pengganti pertunjukan di panggung sandiwara, para aktivis seni teater tradisional sudah menggantikan altar ekspresinya ke bentuk ‘Cinema Elektronik’ yang direkam ke dalam CD atau DVD. “Memang belum ada tawaran untuk bermain di sandiwara elektronik ini,” jawab Kakek saat aku bertanya tentang kemungkinan ia bermain di rekaman piring bulat pipih berputar itu. “Lagi pula, mereka yang sekarang sukses di situ, pada umumnya bukan generasi kami yang dulu tenar di panggung. Jadi biasalah, kami tergilas oleh zaman dan terkesampingkan dari tatapan generasi baru.”

“Bagaimana kalau suatu hari tiba-tiba datang tawaran, apakah Anda masih bisa menunjukkan kepiawaian masa lalu?”

“Kalau itu terjadi, saya malah khawatir, mata orang akan mengarah ke kami semua, hehe!” jawab Kakek dengan ekspresi penuh percaya diri bercampur gelak. “Bukan sombong. Tapi demikianlah adanya. Sampai hari ini kami masih memiliki penggemar yang tersebar di segenap jengkal tanah Aceh ini,” sambungnya dengan binar mata yang menyala.

Orang-Orang Perang

Di akhir pertemuan, Kakek seperti ingin mengungkapkan, bahwa di saat Nanggroe sudah damai begini, kerinduan untuk kembali ke panggung rasanya datang menggebu-gebu bagai dulu lagi. Dan sebaliknya, karena penyatuan batin dengan masyarakat sudah amat kentara, secara telepatis ia seperti dapat memastikan bahwa masyarakat pun sesungguhnya sangat rindu pada mereka bersama panggung pertunjukan pusparagam itu. Sementara dalam konteks penerapan syariat Islam yang seakan-akan pertunjukan panggung hiburan rakyat pada malam hari lebih banyak menimbulkan akses paradoksal dengan semangat kekaffahan, Kakek berkata:

“Lewat sandiwara pun kita bisa berdakwah. Terutama melalui drama-drama yang sarat unsur islaminya. Malah nanti yang terkena unsur dakwah kita lengkap dari berbagai model manusia. Coba kalau dakwah hanya ada di mesjid dan podium-podium khusus, jelas tukang zina, tukang rampok, pembunuh dan tukang tipu tak pernah merapat ke situ, kecuali pancuri harta nanggroe dan penghisap darah rakyat yang membungkus diri dalam wujud pejabat terhormat dengan peci di atas kepala dan surban motif kotak-kotak melilit di bahu.”

“Ah, jangan terlalu begitu dong.”

Kiranya waktu berpisah dengan orang yang sangat kukagumi waktu kecilku dulu ini, aku berkata di antara setengah yakin dan tidak padanya, bahwa, semoga akan datang saatnya di mana segenap kerinduan itu akan terobati kendati sudah lebih satu dasawarsa wajah dan kemampuan aktoristik dia dan generasinya bagai tertindih reruntuhan dinding kejayaan dan lenyap ditelan pergantian arus zaman.

Tapi dalam sepanjang dialog itu aku memang tidak menyebut-nyebut, bahwa kendati sejak 15 Agustus 2005 dari sebuah kota di Eropa, Helsinki, perjanjian damai Aceh-Jakarta ditandatangani keduabelah pihak dan negara-negara internasional menjadi saksinya, bukan berarti segalanya sudah hakiki sampai di sini.

Ingat, suatu tradisi mental kolektif bawah-sadar yang diwarisi dari generasi ke generasi, damai berarti suatu kondisi menunggu perang berikutnya. Ini tanah penuh perseteruan. Pertunjukan teater tradisional sudah terlanjur tergilas. Dia sudah mati. Aku dan para penduduk di kampung-kampung nun jauh di pedalaman, sudah wajib mengakhiri kerinduan kami. Ma’e Kakek sudah harus mengakhiri cita-citanya untuk kembali ke panggung. Kita harus selalu ikhlas menerima kehilangan. Karena, kita adalah orang-orang perang.

BACA JUGA:  Melalui Ilusi Waktu