(Jangan) Jadi Seniman di Aceh!
Kegiatan seni adalah indikator daerah bahagia.
Ummi Kalsum hanya tersenyum. Ia tahu, suaminya hanya mencandainya. Umi lalu menyahut: “Apapun jalan yang dirintis, semoga jeut aneuk meutuah.”
Suaminya Fadhil langsung menyahut: “Aminnnn”
KONSEP YANG MEMUSINGKAN
Fadhil tidak salah. Saat ini menjadi seniman di Aceh masih serba salah. Lihat saja nasib Adi Bergek. Beberapa kali konsernya dilarang. Semuanya atas nama syariat Islam. Seakan aksi seni sama dengan aksi setan. Tempat-tempat konser seni dipandang sebagai tempat jen meuaneuk.
Pemerintahpun tidak mau ambil pusing untuk melahirkan konsep untuk menghargai karya dan aksi seni anak negeri. Tidak ada ruang yang dibangun secara representatif agar aksi maksiat tidak berkumpul bersama aksi seni.
Padahal, tidaklah susah untuk melahirkan panduan aksi seni yang menghormati syariat. Ini kerja paling ringan dibanding tuntutan syariat yang lebih tinggi, yaitu mewujudkan masyarakat yang berilmu dan berakhlak dalam berkesejahteraan, berkeadialan, bermartabat dibawah kesadaran keislaman, keacehan dan keindonesiaan.
LUPA KULIT KACANG
Jika mau jujur, dahulu di saat negeri ini masih dalam konflik, sokongan terhadap kreatifitas seni sangat menonjol. Lahirlah lagu-lagu Aceh yang membangkitkan kesadaran keacehan. Anehnya, dulu mereka yang kini umumnya sudah menjadi penguasa malah memberi sokongan. Apa karena itu bermanfaat bagi perlawanan? Tapi, kenapa kini usai damai datang dan mereka sudah duduk ditampuk kekuasaan malah hanya bisa melarang tanpa mau memikirkan solusi agar aksi seni anak negeri tetap dihargai.
RAKET BAK PISANG
Itu baru satu hal, soal ketiadaan ruang gerak bagi aksi seni bagi seniman, khususnya Bergek. Lebih dari itu, perhatian pemerintah terhadap kaum seniman Aceh juga sangat minim. Lihatlah keberadaan seniman di Aceh, yang rata-rata mesti mengayuh perahu sendiri jika ingin bertahan menjadi seniman murni. Tidak terlihat cukup agresif pemerintah untuk menghidupkan program-program ekonomi kreatif yang memungkinkan munculnya industri kreatif.
Padahal, jika kita lihat dalam pidato para penguasa semua setuju berkata bahwa kegiatan seni adalah sarana diplomasi yang dapat menghubungkan pemerintah dengan dunia luar, bisa menjadi jembatan dalam mewujudkan ragam kerjasama, dan dapat membangun citra positif bagi daerah, bahkan dapat menjadi salah satu indikator daerah bahagia.
Sayangnya, cakap tak serupa bikin. Pemerintah dengan langgamnya sendiri dan dunia seniman terus bergelut dengan dunianya sendiri, melepas benang kusut yang melilit problem mereka sendiri. Tidak ada dukungan, apalagi bantuan pemerintah untuk menegakkan regulasi yang terkait dunia seni.
KERJA PETANI
Ria Rosja contohnya. Penyanyi yang baru saja menerbitkan album Acehnya mengalami dilema yang tidak mudah untuk dihadapi sendiri. Bayangkan, lagu-lagu yang dirilisnya terus bertahan di tangga lagu-lagu dangdut di Aceh sebagai lagu yang diminati. Tapi, di pasar-pasar yang menjajakan kasetnya justru tidak ada laporan penjualan. Dengan kata lain, kasetnya tidak ada yang beli.
Aneh sekali. Padahal, orang-orang yang terhubung dengannya melaporkan bahkan memposting jika ia sudah beli CDnya. Nah, kenapa di beberapa toko malah mengaku tidak ada laku. Ada apa?
Sangat mungkin di Aceh juga sudah ada praktek pembajakan hasil karya seni. Salah satu praktek pembajakan adalah Counterfeiting. Ini merupakan bentuk pembajakan yang dilakukan dengan memperdagangkan produk bajakan berupa album yang sedang laris, kemasannya di reproduksi mirip dengan aslinya sampai dengan detail sampul album dan susunan lagunya pun dibuat sama dengan album aslinya. Ini bertujuan untuk mengelabui konsumennya agar konsumennya menyangka bahwa produk bajakan ini original/asli. Nah, yang dibeli oleh pembeli bisa jadi yang asli tapi palsu sementara yang benar-benar asli disimpan sehingga keuntungan sepenuhnya milik pembajak.
Adakah pemerintah menunjukkan kepeduliannya terhadap nasib para pencari rezeki halal di bidang seni. Bukankah di dalam syariat diseru untuk melindungi harta atau proferti umat. Bukankah mencari rezeki untuk tujuan mempertahankan hidup adalah seruan agama. Mengapa para penegak syariat tidak melakukan razia terhadap tempat-tempat pengganda karya orang lain?
POLITISI SELEBRITI
Amin, ayah dua orang anak ini merasa lega ketika melihat anak pertamanya kini berseragam umumnya wakil rakyat. “Dia anak beruntung. Kini dia sudah menjadi orang terkenal,” kata sang ayah kepada koleganya, mantan anggota DPRD.
Adi Bergek dan Ria Rosja hanya dua contoh seniman Aceh terkini. Ada banyak seniman Aceh lainnya yang juga punya problem berbeda, dan menjadi bukti jika pemerintah Aceh tidak hadir lagi kecuali di musim pemilihan.