Rumah Sakit Ibu dan Anak untuk Citra atau Layanan Publik?

Kami berharap Gubernur Aceh segera membenahi manajemen RSIA untuk memulihkan citranya yang dirusak oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab
Dr. Taqwaddin Husin M.H., Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh

Pada rapat pleno ke 78 akhir Desember 2002, PBB menunjuk tanggal 23 Juni sebagai ‘Public Service Day’. Hal itu mereka catat di Resolusi 57/277 yang diterbitkan Majelis Umum PBB.

Sejak upacara penghargaan pertama tahun 2003, PBB telah menerima peningkatan jumlah pengajuan dari seluruh dunia. Indonesia termasuk salah satunya. Malah kini di Indonesia penghargaan serupa pun dibuat.

Sejak dua tahun lalu Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara menyelenggarakan penghargaan yang diberi nama ‘Top 99 Inovasi Pelayanan Publik’. Tahun ini dua instansi dari Aceh masuk menjadi bagian dari Top 99. Ini membanggakan karena mereka terpilih dari 2.476 peserta yang mengikuti kompetisi tersebut.

Salah satu dari dua instansi tersebut adalah BAPPEDA Pemerintah Kabupaten Aceh Barat. Dengan inovasi yang diberi judul ‘CSR Untuk Rakyat’, mereka menempati urutan kedua untuk kategori kabupaten.

Teuku Ahmad Dadek - CSR untuk Rakyat
Sponsored
www.jilbabmu.comToko Busana Muslim di Banda Aceh, JILBABMU.COM

CSR UNTUK RAKYAT

Ketika berhadapan dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR), maka sekilas yang terlintas hanya pengertian sempit tentang tanggung jawab sosial ‘perusahaan’.

Padahal CSR adalah suatu konsep untuk sebuah ‘organisasi’. Suatu komitmen berkelanjutan oleh organisasi untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan masyarakat.

Jadi CSR tidak melulu tertuju pada perusahaan biasa. Instansi pemerintah juga wajib melaksanakannya. Apalagi rumah sakit.

RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK DAN CSR

Sebagai organisasi, semua rumah sakit terikat pada berbagai bentuk tanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingannya.

Untuk rumah sakit pemerintah, para pemangku kepentingannya adalah konsumen (pasien), karyawan (pimpinan, dokter, perawat, satpam) dan pemerintah (dinas, gubernur/walikota).

Demi melindungi mereka, semua rumah sakit perlu menjalankan CSR. Termasuk Rumah Sakit Ibu dan Anak Banda Aceh (RSIA).

Tapi bagi RSIA Banda Aceh, menerapkan CSR bukanlah persoalan mudah. CSR yang harus mereka lakukan sangat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga dan organisasi lain, terutama pemerintah Aceh.

Untuk mengetahui apakah pemerintah Aceh memiliki orientasi untuk itu, maka hal-hal berikut mestinya sudah dijalankan:

  1. Mengembangkan kebijakan sektor kesehatan
  2. Menyertakan berbagai sumber daya
  3. Menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi
  4. Memberi dukungan politik bagi RSIA (si pelaku CSR)

PARADOKS

Lebih dari itu, pemerintah juga harus mengawasi proses interaksi antara para pemangku kepentingan. Bukan saja antara RS dengan pasien tetapi juga dengan kelompok-kelompok lainnya.

Pemerintah wajib menjaga agar proses interaksi yang terjadi adalah adil. Menjauhkannya dari manipulasi, serta menjauhkannya dari pengancaman satu pihak terhadap yang lain.

Apakah pemerintah Aceh sudah memiliki orientasi untuk itu?

Jika membandingkan kinerja pemerintah Aceh dengan BAPPEDA Kabupaten Aceh Barat yang mendapat penghargaan nasional berkat inovasi mereka untuk CSR (Surabaya, 31 Maret 2016), maka pada saat yang sama tampaknya Rumah Sakit Ibu dan Anak Banda Aceh masih asing dengan istilah CSR.

Kasus bayi asal Gampong Lambate, Darul Kamal, Aceh Besar yang meninggal saat proses persalinan 28 Maret 2016 di RS tersebut menguatkan hal ini. (Beberapa jam kemudian, ibunya pun meninggal dunia di RSUZA Banda Aceh).

[easy-tweet tweet=”Rumah Sakit Ibu dan Anak untuk Citra atau Layanan Publik?” user=”hikayat_aceh” hashtags=”RSIA”]

SALAH ALAMAT

Mengambil contoh olahraga lempar lembing, RSIA hanyalah sebuah tombak milik pemerintah Aceh. Sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), status hukum RSIA tidak terpisah dari pemerintah Aceh. Melalui RSIA pemerintah Aceh bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Lempar Lembing - AP Photo | Matt Dunham | Huffington-Post

Maka jadi lucu ketika sang tombak (RSIA) melukai rakyat, ramai-ramai orang hanya menyalahkan dan menghujat sang tombak itu sendiri dan melupakan si pelemparnya, pemerintah Aceh.

OMBUDSMAN

Tak banyak orang sadar bahwa peristiwa ini adalah bukti gagalnya pemerintah Aceh. Mereka telah lalai atas fungsi layanan publik. Hingga suatu hari Ombudsman turun tangan untuk menyadarkan permasalahan yang sebenarnya.

Di koran lokal Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh, Dr. Taqwaddin Husin M.H. berkata “Kami berharap Gubernur Aceh segera membenahi manajemen RSIA untuk memulihkan citranya yang dirusak oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab”

Dalam bahasa yang santun Dr. Taqwaddin telah menyiratkan bahwa:

  • Gubernur telah gagal mengurus RSIA makanya harus membenahi kembali manajemen RSIA
  • Citra gubernur telah rusak karenanya

Pada awalnya (seperti kebanyakan orang awam lainnya), saya berpikir bahwa peristiwa ini adalah karena lemahnya manajemen RSIA. Namun akhirnya saya harus berterima kasih pada Ombudsman. Mereka telah membuka mata saya. Lembaga ini telah betul-betul menjalankan fungsinya dengan turun langsung ke lapangan, mengurai permasalahan dan menegur gubernur!

Untunglah ada Dr. Taqwaddin, kalau tidak direktur RSIA harus menanggungnya sendiri!

Entahlah..