Mengintip Dunia Zulkirbi: Menyulap Kenangan, Menyalakan Panggung

Bagaimana sebuah panggung kosong bisa berubah jadi dunia yang penuh warna, emosi, dan makna? Itu pertanyaan yang sering muncul dalam benak saya—seorang musisi yang sudah lama bergulat dengan irama, nada, dan dinamika dunia seni di Banda Aceh. Dalam pergaulan lintas disiplin ini, saya bersyukur punya sahabat-sahabat dari berbagai ranah, termasuk teater. Dan baru-baru ini, saya duduk semeja dengan salah satu nama penting dalam dunia teater Aceh: Zulkirbi. Percakapan itu seperti membuka jendela ke ruang dalam kesenian yang selama ini hanya saya intip dari sela-sela.

Zulkirbi—yang bernama asli Zulfikar—lahir di Tapaktuan, 25 Agustus 1971. Ia menempuh pendidikan di STSI/ISI Padang Panjang, dan dari sanalah jejak panggungnya makin tegas. Saya pribadi sudah beberapa kali menyaksikan karya penyutradaraannya di Taman Budaya Aceh. Kadang saya juga melihatnya di warung kopi sekitar situ: duduk diam, menulis, atau sekadar melamun. Di Aceh, warung kopi memang bukan cuma tempat ngopi—ia adalah ruang dialog, tempat lahirnya ide, bahkan panggung gagasan.

Obrolan saya dengan Zulkirbi ini bermula dari kabar yang saya terima: Teater Mata akan mementaskan kembali naskah legendaris JEEEH!? (Jalan Pintas) karya Maskirbi, abang kandung Zulkirbi sekaligus senior saya dalam berkesenian. Saya punya kenangan panjang dengan almarhum. Tahun 2001, saya pernah mengajaknya menyutradarai video klip lagu “Wamole” yang dinyanyikan almarhum Mukhlis—saya dan Hillman Rizqan waktu itu jadi produsernya. Lagu tradisi Aceh itu kami kemas dengan nuansa modern.

Saya juga pernah menyaksikan pertunjukan Jeeeh! yang asli, jauh sebelum tsunami, sekitar tahun 90-an. Maka saat saya tahu Zulkirbi akan menghidupkannya kembali, kenangan itu langsung melonjak keluar. Maka pertemuan kami di sebuah warung kopi pada 30 Juli 2025 lalu, dari jam 12.30 sampai 13.30 WIB, terasa seperti menyusun ulang potongan sejarah. Ini catatan saya untuk hikayataceh.com—dari seorang musisi yang menyimak teater dengan mata dan telinga terbuka.

Zulkirbi dan Dunia yang Ia Bangun

Dari Pemain Jadi Sutradara

Zulkirbi pertama kali terlibat dalam Jeeeh! pada tahun 1996 sebagai aktor. Waktu itu, ia memang sudah ada di lingkaran Teater Mata yang dipimpin oleh abangnya, Maskirbi. Di masa mudanya, ia dikelilingi teman-teman seniman seperti Djamal Sharief, Rahmad Sanjaya, dan tokoh-tokoh lain di Banda Aceh. Lingkungan itu menempanya.

Tapi Zulkirbi bilang dia bukan aktor yang baik. Ia merasa lebih cocok menyusun narasi, menata adegan, dan mengarahkan orang lain. Maka jalur sutradara jadi pilihannya.

Dari Aceh ke Padang Panjang

Keputusan kuliah di STSI Padang Panjang diambilnya tahun 1996, tahun yang sama saat ia masih aktif di Jeeeh! Sayangnya, begitu diterima kuliah, ia harus tinggalkan panggung dan peran yang sedang ia jalani. Tapi itu awal dari jalan panjangnya, sampai beberapa tahun lalu, ia juga menyutradarai naskah Ka Pungo Lom.

Memanusiakan Manusia

Zulkirbi percaya bahwa tugas utama sutradara adalah memanusiakan manusia. Sebelum pesan pertunjukan sampai ke penonton, ia harus lebih dulu menyentuh hati para pemain dan kru. Bila mereka paham, maka energi itu akan sampai ke penonton.

Naskah Jeeeh! menurutnya masih sangat relevan. Dulu ia bicara soal konflik Aceh dan negara. Sekarang, ia ingin mengangkat isu yang lebih luas: kerakusan, korupsi, dan kegagalan pemerintah dalam mengurus masyarakat. Ia ingin panggung teater bicara pada Indonesia hari ini.

Cara Kerja yang Kolaboratif

Dalam proses kreatif, Zulkirbi tidak memberi perintah satu arah. Ia lebih suka menggali ide dari aktor dan kru, lalu merangkainya jadi satu kesatuan. Kolaborasi ini membuat pertunjukannya terasa hidup dan bernafas.

Selain Jeeeh! dan Ka Pungo Lom, masih banyak karya lain yang ia garap, baik di Banda Aceh maupun di kota lain. Ia selalu menyesuaikan pendekatannya dengan tempat pertunjukan: di Aceh, Padang, atau tempat lainnya.

Mimpi Tiket dan Penonton

Satu hal yang ia akui masih sulit: menjual tiket. Di Aceh, hampir semua pertunjukan teater gratis. Kalaupun dibayar, itu dari pemerintah, sebagai bagian dari program resmi. Padahal menjual tiket bisa jadi cara untuk meningkatkan tanggung jawab dan kualitas produksi. Tapi risikonya besar: apakah penonton akan datang?

Teater sebagai Pengingat

Bagi Zulkirbi, fungsi utama teater adalah sebagai pengingat. Ia menyadarkan kita pada masalah-masalah sosial, pada hal-hal yang luput dari perhatian. Tapi ia juga tahu, teater bukan media cepat saji seperti media sosial. Prosesnya lama, hasilnya hanya bisa disaksikan di satu tempat, oleh jumlah orang yang terbatas. Maka kontennya harus benar-benar mengakar dan membumi agar tetap relevan.

Eksperimen dan Teknologi

Zulkirbi menyambut inovasi dengan tangan terbuka: dari penggunaan multimedia dalam pementasan, hingga eksplorasi strategi promosi. Ia pernah bereksperimen dalam Ka Pungo Lom, dan tampaknya semangat bereksperimen itu akan terus ia pelihara di karya-karya berikutnya.

Catatan untuk Generasi Baru

Dari obrolan kami, saya menangkap satu hal yang terasa sangat kuat: seorang seniman harus jujur menyampaikan isi hatinya. Kejujuran itulah yang membuat teater tetap hidup dan menyentuh siapa pun yang menontonnya.

Penutup: Kembali ke Jeeeh!

Zulkirbi punya dua alasan menghidupkan kembali Jeeeh!: janjinya kepada almarhum Maskirbi, dan relevansi naskahnya dengan zaman sekarang. Dan saya kira itu cukup.

Jujur saja, saya prihatin melihat teater di Banda Aceh. Komunitasnya kuat, tapi kecil. Penontonnya itu-itu saja. Biasanya semua pertunjukan dipusatkan di Taman Budaya. Penonton, pemain, kurator—mereka saling kenal. Suasananya akrab, hangat, tapi juga menantang karena jarang muncul wajah baru.

Di tengah semua itu, Zulkirbi terus berjalan. Di usianya yang ke-54, ia masih terus mencipta, berlatih, dan memanggil orang untuk berkumpul di panggung. Ia tidak kehabisan talenta, tidak kekurangan dukungan dana, tapi yang kurang adalah: permintaan dari masyarakat.

Tapi saya percaya: bila karya itu disuguhkan dengan sepenuh hati, penonton akan datang. Dan pertunjukan Jeeeh!? bisa jadi salah satu momentum penting.

Sampai Jumpa di Panggung!

Mari kita ramaikan pementasan teater “JEEEH!? (Jalan Pintas)”, disutradarai oleh Zulfikar Kirbi, ditulis oleh almarhum Maskirbi—Sabtu, 9 Agustus 2025 pukul 20.30 WIB di Gedung Indoor Taman Budaya Aceh. Jangan sampai terlewat!

BACA JUGA:  Rumah Sakit Ibu dan Anak untuk Citra atau Layanan Publik?