Ini adalah kisah tentang dua meja yang nasibnya terpisah jauh. Meja pertama adalah meja rapat, tempat janji-janji besar tentang pendidikan Aceh dirumuskan. Meja kedua adalah meja belajar anak-anak kita, tempat janji itu seharusnya tiba. Tulisan ini saya siapkan untuk Hari Pendidikan Daerah (Hardikda) 2025, dengan harapan sederhana: menjembatani jarak antara dua meja tersebut.

Kisah Dua Meja: Meja Rapat Pejabat dan Meja Belajar Anak Aceh

Di Darussalam, ada sebuah prasasti dengan kalimat ringkas: “tekad melahirkan perbuatan”. Tanda tanggalnya 2 September 1959, hari ketika kawasan itu diresmikan oleh Soekarno dan kemudian dikenang sebagai Hari Pendidikan Aceh. Setiap tahun, kita sebenarnya merayakan janji yang sederhana: sekolah yang sungguh-sungguh bekerja.

Dua mercusuar pendidikan memang tegak menjaga ufuknya: USK yang berdiri pada 1961 dan UIN Ar-Raniry yang naik status dari IAIN. Namun, masa depan anak-anak Aceh tidak ditentukan oleh nama besar kampus; ia dibentuk oleh apa yang terjadi esok pagi di dalam kelas mereka.

Cermin Retak dari Angka-Angka

Cermin realitas datang dari rapor dunia. Hasil PISA 2022 menempatkan Indonesia di bawah rata-rata global untuk kemampuan membaca, berhitung, dan sains. Angka itu dingin—dan justru karena dingin, ia tidak bisa diperdebatkan.

Di Aceh, cermin itu memantulkan gambaran yang lebih dekat: banyak langkah anak muda melambat di tikungan usia remaja. Data resmi 2024 mencatat hanya sekitar 81,55 persen anak berusia 16–18 tahun yang masih melanjutkan sekolah. Sisanya berhenti—bukan selalu karena malas, tetapi sering kali karena jarak, ongkos, atau panggilan untuk membantu keluarga.

Akibatnya, terlalu banyak yang menggantung di udara: tak bersekolah, tak bekerja, dan tak mengikuti pelatihan. Angka untuk kategori ini di Aceh pada 2024 mencapai 28,56 persen. Sebuah jeda yang terlalu panjang di usia yang semestinya paling sibuk belajar dan mencoba.

Sungai Lebar Bernama Birokrasi

Padahal, uang sebetulnya ada. Tahun ini, dana otonomi khusus untuk Aceh mencapai sekitar Rp4,3 triliun, dengan tahap kedua sebesar Rp1,5 triliun sudah masuk ke kas provinsi. Namun, alokasi untuk kabupaten/kota masih tertahan karena syarat administrasi yang belum rampung. Di meja rapat, angka-angka itu bergerak lincah; di meja guru, kadang lampu masih saja redup.

Bahkan pemerintah sendiri mengakui beberapa baut belum terpasang. Rencana Kerja Dinas Pendidikan Aceh 2025 menulis dengan terang: aturan untuk bengkel belajar SMK (teaching factory) belum tersedia, lembaga sertifikasi dan bursa kerja sekolah belum berfungsi penuh, dan program revitalisasi SMK belum berjalan wajar. Di atas kertas, jembatan sudah digambar; di lapangan, sungai masih terbentang lebar.

Modal yang Tak Perlu Dibeli

Ironisnya, Aceh punya modal yang tak perlu dibeli: jaringan dayah yang membiasakan laku baik dan qanun yang memeluk bahasanya sendiri. Bahasa Aceh telah diakui kedudukannya; tinggal disediakan jam pelajaran, bahan ajar, dan guru yang siap. Sebuah kebijakan yang lembut, tetapi menuntut kerja harian yang tekun.

Menjembatani Dua Meja: Sebuah Rumus Sederhana

Mungkin rumusnya bisa disederhanakan. Jangan terburu-buru mengejar istilah besar, tetapi kejarlah kebiasaan baik. Siapkan pedoman praktis yang bisa dipakai guru esok pagi. Latih para pengajar sedikit demi sedikit, tetapi berkelanjutan; ukur dampaknya dari perubahan di kelas, bukan dari daftar hadir seminar. Hidupkan bengkel SMK yang benar-benar produktif—gandeng usaha lokal dan nilai hasilnya dari karya nyata para siswa. Buka pintu anggaran hingga terasa manfaatnya di ruang kelas, dengan tolok ukur yang mudah dihitung: jam belajar efektif, kehadiran guru, tugas praktik, dan portofolio murid.

Darussalam berarti “negeri yang damai”—sebuah kedamaian yang lahir dari ketertiban. Tertib anggaran. Tertib program. Tertib mengajar. Jika semua itu berjalan, prasasti di Darussalam tak lagi sekadar batu di bawah matahari. Ia akan menjelma menjadi kebiasaan sederhana yang hidup: guru masuk kelas, anak-anak belajar, dan pelan-pelan, angka-angka di rapor pun akan ikut berubah.

BACA JUGA:  Konser di Aceh Segera Halal Kembali?