Walikota Illiza Sangsikan Ketulusan Seniman Banda Aceh

“Jangan gadaikan semua kemerdekaan ide kepada kehendak modal. Saya berharap, kita mendapatkan sesuatu yang lebih berarti dari sekadar keuntungan materi dari Piasan Seni ini.” Pidato Illiza Sa’aduddin Djamal, Walikota Banda Aceh, Piasan Seni 2015

Gadai

Ibu Walikota tentu tak akan mengeluarkan kata-kata tajam seperti pada acara pembukaan Piasan Seni 2015 jika tidak mempunyai asumsi atau setidaknya pernah punya pengalaman buruk dengan para seniman.

Secara harfiah gadai berarti meminjam uang dalam batas waktu tertentu dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan, jika telah sampai pada waktunya tidak ditebus, barang itu menjadi hak yang memberi pinjaman.

Kondisi orang yang menggadaikan adalah kondisi orang yang sangat kepepet. Orang akan menggadaikan ‘benda’ berharga miliknya untuk menutupi kebutuhan hidupnya.

Sebenarnya tak ada yang salah dengan aktivitas gadai-menggadai. Walikota tentu tak keberatan jika seniman menggadaikan benda-benda fisik milik mereka. Namun dalam hal ini Illiza jelas-jelas tidak rela jika seniman menggadaikan kemerdekaan idenya.

Umpan Mengumpan

Pemerintah sadar selama ini mereka telah kekeringan ide untuk membangun Banda Aceh sebagai ‘Model Kota Madani’. Dan untuk mendapatkan tambahan ide mereka butuh ‘pancingan’, butuh masukan dari pihak lain.

Ibarat nelayan profesional (mereka yang hobi mancing pun akan melakukan hal yang sama), pemerintah telah mempersiapkan umpan tertentu untuk memancing ide. Mereka berharap mendapatkan hasil setimpal yang bisa dibawa pulang agar bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah sendiri.

Dalam hal ini pemerintah telah menetapkan ‘hasil pancingan’ yang entah mengapa memilih memakai bahasa Inggris yaitu ‘Inspiration of Art’.

Takut dibilang sok kebarat-baratan atau tak yakin bahasa Inggris akan berhasil mengkomunikasikan tujuannya, mereka pun menambah sub judul dalam bahasa Indonesia, ‘Ide Kreatif untuk Sebuah Karya’.

Kompas Yang Tak Berfungsi

Tak ada pilihan selain menunjuk salah satu dinas terkait sebagai kapal nelayannya. Dan otomatis, kepala dinasnya pun menjadi kaptennya.

Sebagai kepala dinas yang diberi PR oleh walikota untuk memancing ide-ide kreatif untuk membangun kota Banda Aceh, maka beliau memutuskan untuk memancing para seniman. Pemerintah yakin seniman sarat akan ide.

Malangnya, beliau sendiri tak punya ide ke arah mana kapal harus dikemudikan. Di mana para seniman kreatif tersebut bertempat. Celakanya lagi, apa itu seniman? Ya, Apa Itu Seniman..

Seperti biasa, orang yang kebingungan pasti akan bertanya. Mereka mencari pencerahan. Cara termudah adalah dengan menyewa seseorang yang bisa menunjukkan arah di mana seniman kreatif itu bertempat. Beliau lupa ada lembaga yang tak perlu disewa untuk berkonsultasi: Dewan Kesenian Banda Aceh.

Dengan modal ratusan juta tentu mudah saja bagi dia menyewa seseorang untuk dijadikan penunjuk arah. Dan dengan iming-iming modal ratusan juta orang-orang pun dengan mudah mengaku-ngaku mampu menjadi penunjuk arah.

Akhirnya, dengan bantuan sang penunjuk arah, kapal pun berlayar selama beberapa minggu untuk mencari tangkapan. Dan tiba-tiba pada tanggal 14 – 16 September 2015, di Taman Sari Banda Aceh, para nelayan ide tersebut dengan bangga memamerkan hasil tangkapannya: Piasan Seni 2015, Inspiration of Art, Ide Kreatif untuk Sebuah Karya.

Le U Ka Beukah, Pakon Kuah Hana Leumak?

Nah Illiza sepertinya telah bisa membaca kondisi sedari awal. Maka dalam pidato pembukaan yang acaranya tidak dia hadiri, namun melalui pembantunya Ir. Gusmeri, M.T dia berkata: “Jangan gadaikan semua kemerdekaan ide kepada kehendak modal. Saya berharap, kita mendapatkan sesuatu yang lebih berarti dari sekadar keuntungan materi dari Piasan Seni ini.

Illiza jelas menekankan bahwa ia ingin mendapatkan sesuatu yang lebih berarti. Namun apa maksud ibu walikota menyiapkan naskah pidato seperti itu sebelum acaranya sendiri dimulai?

Illiza merasa telah menjalankan salah satu tanggung jawab pemerintah agar eksistensi komunitas seni di Banda Aceh tetap berjalan. Salah satunya melalui kegiatan ini.

Dari pengalamannya menyelenggarakan event yang sama tahun lalu. Illiza sangat sadar seniman mendapatkan keuntungan materi dengan diselenggarakannya Piasan Seni 2015 ini.

Sebagai orang pintar tentu dia juga telah mempertimbangkan untuk tidak menghambur-hamburkan uang rakyat tanpa adanya umpan balik positif bagi pemerintah. Kira-kira matematikanya seperti itu.

Dan dari pengalamannya tahun lalu, sepertinya ibu walikota sudah dapat menebak. Kali ini dia tetap pesimis untuk bisa mendapatkan hasil yang diharapkannya. Maka keluarlah kata-kata: “Jangan gadaikan semua kemerdekaan ide kepada kehendak modal. Saya berharap, kita mendapatkan sesuatu yang lebih berarti dari sekadar keuntungan materi dari Piasan Seni ini.

Dari kata-katanya jelas beliau menimpakan kekesalannya pada seniman pengisi tenda dan panggung hiburan dan menganggap mereka sekedar mencari keuntungan materi dari Piasan Seni ini tanpa menyumbangkan sesuatu yang lebih berarti.

Penyalur

Sebenarnya tak ada yang salah dengan pengisi tenda maupun pengisi acara. Mereka sudah memamerkan hasil karya dan berusaha tampil secara maksimal.

Semisal pertandingan tinju, ada tinju amatir ada tinju profesional. Ada juara kelas bulu, layang, terbang hingga juara kelas berat. Mereka semua adalah juara pada kelasnya, baik amatir maupun profesional. Mungkin Ibu Walikota kecewa mengapa pengisi Piasan Seni di dominasi kelas tertentu barangkali?

Seingat saya Piasan seni yang pertama dan kedua di tahun 2012 dan 2013, semasa Mawardy Nurdin menjabat walikota, Illiza yang duduk sebagai wakil walikota tak pernah menunjukkan kekecewaannya.

Tiga tahun lalu, seniman bukan dipancing (memangnya mereka ikan?). Tetapi mereka bergerak sendiri untuk membantu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang ingin berbuat sesuatu bagi Kota Banda Aceh. Sungguh harmonis hubungan pemerintah dengan seniman pada masa itu.

Sekarang hubungan pemerintah Banda Aceh dengan para seniman mirip hubungan buruh dan majikan yang dipertemukan oleh seorang penyalur. Persis TKI yang bekerja di Arab Saudi. Saat keterampilan mereka tidak sesuai standar majikan, mereka pun disiksa.

Mirip-mirip dengan kasus TKI, rupanya pengisi tenda dan pengisi acara tidak sesuai dengan standar ibu walikota, mereka pun disindir. Sekarang disaat Illiza memegang tampuk kekuasaan dia malah kecewa sendiri.

Dewan Kesenian Banda Aceh

Dua tahun terakhir, Piasan Seni ditangani oleh orang tak mengerti konsep awal diselenggarakannya kegiatan ini. Sekarang semuanya menjadi kabur. Tak ada landasan. Mengingatkan kita antara kerja tukang yang dimandori oleh arsitek dan kerja tukang yang dimandori oleh tukangnya sendiri.

Sebenarnya kepala dinas bisa meminta kepada atau melibatkan Dewan Kesenian Banda Aceh yang memang dibentuk oleh pemerintah untuk menjadi fasilitator dan mediator dan untuk memberi pertimbangan pada hal-hal semacam ini. Namun itu tidak dilakukannya. Jangan tanya mengapa.

Diskon Harga

Di mata walikota biaya ratusan juta tersebut habis untuk menghadirkan pengisi tenda dan pengisi panggung acara. Nyatanya biaya tersebut terutama habis untuk membangun tenda, panggung dan sound system. Jika mau, tentu walikota tentu bisa melihat rincian anggarannya.

Coba tanyakan pada Joel Pasee, Jamal Abdullah atau Rahmad Sanjaya – beberapa nama pengisi acara – berapa banyak mereka memberi diskon agar pemerintah bisa menyuguhkan penampilan mereka untuk masyarakat. Apakah mereka mencari untung? Dan bandingkan berapa harga penampilan mereka saat tampil di pertunjukan komersial tanpa diskon. Tanyakan pula pada penyedia properti apakah mereka memberikan diskon harga untuk Piasan Seni?

Jika Illiza ‘merasa’ telah menjalankan salah satu tanggung jawab pemerintah agar eksistensi komunitas seni di Banda Aceh tetap berjalan, dalam hal ini ‘perasaan’ tersebut salah.

Ibu walikota sebaiknya anda kecewa pada yang anda titipkan amanah untuk menyelenggarakannya. Bukan menyangsikan seniman Banda Aceh yang masih 100 persen tulus.

BACA JUGA:  Himne Aceh Melanggar Sumpah Pemuda?