Rektor UIN Ar-Raniry, Warung Kopi dan Bom Atom
“Di dunia ini hanya di Aceh yang 80 persen generasi muda menghabiskan waktu di warung kopi siang dan malam. Ini musibah yang lebih besar dari bom atom di Jepang.”
Bulan Mei 2016 nanti Presiden AS Barack Obama akan mengunjungi Hiroshima. Seorang perempuan korban selamat dari bom Hiroshima yang kini berusia 78 tahun berharap Obama bisa mendapatkan pengalaman langsung dari setelah serangan bom nuklir itu. Obama telah dijadwalkan untuk mengunjungi negara Asia dalam rangka menghadiri KTT G7.
Hiroshima dan Nagasaki adalah dua kota yang dibom oleh AS selama Perang Dunia Kedua. Bom ini telah menghancurkan dan membunuh ribuan orang yang tinggal di dua kota tersebut. Dan mereka yang selamat terus menderita masalah kesehatan yang serius karena paparan radiasi nuklir.
Dan perempuan tadi adalah Keiko Ogura. Pada 6 Agustus 1945 saat peristiwa terjadi, Keiko masih berumur delapan tahun. Dari rumahnya dia menyaksikan serangan nuklir pertama di dunia dalam jarak tidak sampai dua kilometer dari titik jatuhnya bom.
Advertorial
Rektor UIN Ar-Raniry Khawatir
Sebagai salah serang korban Keiko berharap, dengan kunjungan Obama dan para pemimpin G7 lainnya ke Hiroshima Mei nanti, para pemimpin dunia tersebut akan “mengubah pikiran mereka tentang memiliki senjata nuklir”.
Tapi rupanya kekhawatiran Keiko Ogura telah lebih dulu dikhawatirkan oleh Farid Wajdi Ibrahim. Malah kekhawatiran Rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh ini lebih hebat lagi.
Farid menyatakan bom Hiroshima dan Nagasaki tidak lebih berbahaya daripada kebiasaan generasi muda Aceh yang suka menghabiskan waktu di warung kopi. Ajaibnya, Farid mengatakan hal ini pada 21 Maret 2016 dua hari lebih awal dari pernyataan Keiko yang dipublikasi pada 24 Maret 2016.
Jika kekhawatiran Keiko telah memunculkan harapannya pada orang-orang yang ‘sedang memimpin’ dunia, maka harapan Farid ditujukan untuk orang-orang yang kemungkinan ‘bakal menjadi pemimpin’, yaitu para lulusan UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
“Di dunia ini hanya di Aceh 80 persen generasi muda duduk di café siang dan malam. Ini musibah yang lebih besar dari bom atom,” katanya di hadapan para lulusan. Karena itu Farid Wajdi mengharapkan para lulusan agar tidak menjadi pengemis intelektual dan menghabiskan waktu sia-sia tanpa berbuat untuk pengembangan diri yang lebih baik dan berguna untuk dirinya dan daerah.” (Serambi Indonesia, 22 Maret 2016)
Begitulah sebagian nasehatnya untuk 967 wisudawan UIN Ar-Raniry Banda Aceh melalui pengeras suara di dalam auditorium Prof. Ali Hasjmy di kampus tersebut.
Radio Batok Kelapa
Rupa-rupanya pengeras suara tersebut ‘terlalu keras berbunyi’, hingga banyak kuping menjadi panas dibuatnya. Apalagi foto potongan kutipan dari berita di harian tersebut secara cepat meluas di media sosial.
Dari beberapa lembar pidatonya, cuma kalimat berikut yang bergema sendirian.
“Di dunia ini hanya di Aceh yang 80 persen generasi muda menghabiskan waktu di warung kopi siang dan malam. Ini musibah yang lebih besar dari bom atom di Jepang.”
Walaupun jelas-jelas pada kalimat kutipan tersebut hanya menunjuk pada generasi muda, namun mereka yang telah tua pun ikut bereaksi. Tidak hanya pengangguran, malah kalangan profesional seperti dokter spesialis ikut juga berkomentar. Tanpa komando, ramai-ramai memberi sanggahan.
Berbagai komentar dengan berbagai alasan bermunculan. Semuanya untuk membenarkan kebiasaan mereka duduk nongkrong di warung kopi. Kebanyakan menolak tuduhan menghabiskan waktu. Dan, alasan yang dikemukakan cukup masuk akal!
Selain untuk alasan bisnis oleh para agen penjual, agen proyek dan para kontraktor, rata-rata alasan utama mereka ada di warung kopi untuk sengaja mendapatkan WiFi gratis. Mereka butuh koneksi internet untuk menyelesaikan tugas kuliah maupun pekerjaan kantor.
Kacamata Peneliti
Terlepas jabatan dan sepak terjangnya belakangan ini, dulu Farid adalah Kepala Pusat Penelitian IAIN Ar-Raniry (2001-2004).
Bagi peneliti, membuat hipotesis adalah hal biasa. Asumsi dan praduga berdasarkan “apa yang terlihat” adalah obrolan lumrah dilingkungan lembaga riset dan kampus. Kalangan ini juga sangat antusias untuk mencari bukti kebenaran maupun bukti untuk menggugurkan hipotesis apapun.
Jika melihat pemandangan ke deretan kafe yang berjamuran di Aceh, fenomena yang tampak adalah pengunjung warung kopi tumpah ruah hingga ke pinggir jalan. Tak peduli siang, tak peduli malam. Dari raut rupa wajah kelihatan kebanyakan mereka berumur 16-30 tahun, para generasi muda.
Yang duduk di bagian luar warung tampak mengobrol. Seperlima lagi duduk di bagian dalam warung, asyik dengan laptop, kadang serius, kadang tersenyum sendiri. Yang lainnya menonton sinetron. Pemandangan itulah yang tertangkap mata.
Jika pemandangan tadi diangkat menjadi sebuah hipotesis, mungkin bunyinya seperti ini: “80 persen generasi muda Aceh menghabiskan waktu di warung kopi siang dan malam.” Atau boleh juga seperti ini: “Di dunia ini hanya di Aceh yang 80 persen generasi muda menghabiskan waktu di warung kopi siang dan malam. Ini musibah yang lebih besar dari bom atom di Jepang.” Atau apapun itu terserah si peneliti. Hipotesis perlu dibuat untuk kemudian dibuktikan atau digugurkan.
Hipotesis vs Tuduhan
Yang tidak lumrah adalah ketika orang dilarang untuk membuat hipotesis. Ketika hipotesis dianggap sebagai tuduhan tidak beralasan. Dan ini yang terjadi pada kalimat pidato yang dikutip secara parsial.
Lalu apakah kalimat tersebut adalah sebuah hipotesis atau hanya tuduhan kosong?
Kutipan tersebut bukanlah kicauan ataupun status pribadi Farid di media sosial. Jika melihat latar belakang, konteks, lokasi pidato serta audiens-nya, kalimat tersebut termasuk dalam kategori hipotesis jika bukan kesimpulan dari sebuah penelitian.
Tanpa peduli hal-hal diatas tadi, ramai-ramai orang mengutuk Farid. Hanya berdasarkan secarik potongan dari harian lokal yang tak pernah dibaca artikel lengkapnya, mereka mengambil kesimpulan bahwa telah dihina Farid dan menuduh balik Farid sebagai profesor yang tidak ilmiah.
Tapi mengambil kesimpulan dari sebuah kutipan tentu saja berbahaya. Kutipan memiliki potensi menyesatkan. Konteks yang terpenggal-penggal membuatnya menjadi tak utuh dan parsial.
Jika kalimat tadi adalah hipotesis, maka Farid tak perlu lagi membuktikannya sendiri. Dengan dibagikan sebanyak 485 kali setidaknya setengah juta orang telah membacanya. Dan sekali lagi, jika itu adalah hal yang sia-sia, maka ini menjadi bukti hipotesis Farid akurat!
Entahlah..
NB: Saya ‘menghabiskan waktu’ selama 2 jam untuk menulis artikel ini di warung kopi ‘Pentasagoe’ Taman Budaya Banda Aceh. Mengupload menggunakan fasilitas WiFi gratis disitu, hahaha…