Tukang Kebiri
Di musim badai tukang-tukang sering luput rezeki. Pintu-pintu rezeki mereka seakan menggaib dari kesahajaan siang-siangnya dan malam-malamnya. Tukang-tukang meradang, mencerca nasib, mencabik harap, membungkam duka lara. Musim badai, musim gusar yang hitamkan masa bermasa gairah lelah tukang-tukang.
Lain halnya Tukang Kebiri yang selalu bernasib lain dari nasib-nasib tukang-tukang yang lain. Tukang Kebiri tak pernah putus-pupus dicekam musim. Konon lagi musim itu musim badai, yang justru kian buahkan girang Tukang Kebiri. Di musim badai Tukang Kebiri tak lelah-lelah menangguk rezeki demi rezeki, karena di musim ini banyak mangsa lupa diri, jinak sekali untuk dikebiri. Satu dua ada juga yang bebal punya akal, sehingga harus sedikit dikeraskan agar mau dan tak lari saat paksa dikebiri. Sesungguhnya tak ada yang kebal kala bersua Tukang Kebiri.
Lihai sekali ulah kerja Tukang Kebiri. Tak terduga, tak terasa, tiba-tiba saja mangsa dimangsa, hanyut larut terkebiri. Tukang Kebiri tak pilih kasih. Beliau tak pilih-pilih. Semua mesti dikebiri. Tak jaka, tak dara, tak jelata, tak penguasa, tak cinta, tak damba, tak hutan rimba raya, tak laut asin airnya, tak dana masa bencana, tak suara masa bersuara, tak tapak tanah pusaka, tak bumi seisinya! Semua harus dikebiri! Juga tukang- tukang! Walau sesama tukang usahlah harap ada hirau-menghirau. Tukang Kayu, Tukang Batu, Tukang Rayu, Tukang Tipu, apalagi Tukang Adu, semua mereka itu tiada ampun untuk berelak diri biar luput dari celaka petaka kebiri. Wahai, tiadalah lari itu dapat jauhi engkau dari lihai licik Tukang Kebiri!
Tukang Kebiri bukanlah orang sembarang orang. Karena jarang-jarang orang bisa jadi Tukang Kebiri, maka sangatlah sukar ditebak siapa orang yang bertukang bergelarkan Tukang Kebiri. Perangai bawaan Tukang Kebiri itu sangatlah halus, culas dan perlente. Seumpama kulit yang erat melilit, Tukang Kebiri itu sungguhlah dekat dan lekat bersebadan dengan mangsanya. Maka, tak terduga, tak terasa, tiba-tiba saja mangsa dimangsa, hingga hanyut, larut, putus, pupus dalam semesta kebiri yang terkebiri. Nah!
Pada suatu masa, di tengah amuk musim badai, singgahlah seorang Tukang Kebiri di kampung kami. Kami sambut beliau dengan suka cita, dengan segala mulia yang kami punya. Laksana pahlawan menang perang, gagah melangkah pulang membawa kemerdekaan, kami junjung beliau dalam limpahan puja-puji. Kami sangkutkan keselamatan kampung pada bahunya yang teguh. Maka, sejak itu orang-orang tua kampung kembali mengisahkan dongeng-dongeng lucu tentang kecerdikan sang segala sang berwujudkan beliau itu. Bocah-bocah kampung terpaksa mengulur waktu tidurnya karena tak habis-habis dilipur dongeng palsu itu, hingga tersekat mimpi eloknya, tergantikan mimpi buruk akan hitamnya pagi esok yang selalu saja beliau-beliau itu iming-iming akanlah cerah, cerah, dan indah! Dalam gundah gulana sebegitu itu, tidur bocah-bocah kampung kami tak lagi bermakna tidur.
Karena tidur tak lagi buahkan tidur, maka salahkanlah malam! Cacahlah malam! Belahlah malam! Sebagaimana Tukang Kebiri yang melayat menyayat malam, yang sigap hinggap di gelap malam, mengintai-intai satu per satu penghuni kampung dari atap-atap rumah kami yang tua, maka kangkangi saja rahasia malam. Wahai, sungguh sangatlah polos wajah-wajah yang lelah dinyenyak itu, sepolos utuh isi semesta kampung kami yang ganti berganti tak pernah sudah digerayang-gerayangi. Tukang Kebiri itu terkekeh sambil geleng-geleng kepala. Entah kenapa tiba-tiba timbul harunya agar menepis kehendak mengebiri seisi kampung kami esok pagi. Tukang Kebiri tak sampai hati! Ia masih punya hati!
“Tak perlu hati! Jangan pakai hati! Omong kosong suara hati!”pekik hati busuk Tukang Kebiri.
“Wah! Jangan kebiri mereka! Jangan kebiri mereka!” halang hati wangi Tukang Kebiri.
“Lho, kenapa?”
“Karena mereka sungguh manusia yang manusia!”
“Jadi…”
“Jangan!”
Malam meluruk cepat sekali. Remang memburam perlahan, menyeret subuh agar bertengger di langit pagi kampung kami. Di mulut lorong terakhir, Tukang Kebiri tergopoh-gopoh meninggalkan kampung. Gurat wajahnya segar sekali. Ia sepertinya puas sekali. Ia sungguh tak habis pikir kalau ia mampu mengalahkan ambisi dan kata hati. Ia tak perlu berpikir untuk teguh bersikukuh mengebiri habis seisi kampung kami.
Banda Aceh, 26 Juli 2008