Dari Rahim Ke Kuburan
Malam itu, jam 21.03. Tampak Udin Pelor duduk sendiri dekat replika jeungki, di bagian belakang sebuah rumah tua berwarna putih. Tempat itu diberi nama Rumah Budaya oleh pemiliknya Pemko Banda Aceh, terletak di Jln. Teungku Daud Beureueh, Simpang Lima, pusat kota Banda Aceh.
Sudah satu jam Udin Pelor duduk di situ, menunggu dimulainya acara yang pada undangan tertulis pukul 20.00. Dia didaulat sebagai pembawa acara untuk hajatan sahabatnya Din Saja yang akan membaca puisi di malam minggu tanggal 7 Maret 2015 lalu.
Dua puluh menit kemudian seorang pemuda mendekati Udin Pelor, memintanya mengawali acara karena Asisten Administrasi Umum Setdako Banda Aceh M. Nurdin S.Sos sudah tiba. Uniknya, Udin malah menyuruh pemuda tadi untuk menggantikan dirinya sebagai pembawa acara. Mungkin Udin Pelor hilang mood karena terlalu lama menanti.
Pelajaran Sastra di Sekolah Menengah
Tak lama setelah dimulai, Din Saja turun bergabung dalam tarian yang sedang dibawakan sekelompok anak-anak SD. Tarian itu dimaksudkan untuk menyambut tamu. Din membaca puisi diantara senandung penari. Dia membacanya dengan dingin, tidak seperti penampilan-penampilannya terdahulu.
Utusan Walikota memberi sambutan dan membuka acara ‘Dari Rahim ke Kuburan’, disusul kemunculan Muhammad Rain, seorang anak muda yang berpakaian lebih rapi dibanding pengunjung lainnya. Tangannya memegang semacam fotokopi diktat kuliah era tahun delapan puluhan. Dijilid selotip, bersampul plastik pada bagian depan dan karton merah pada bagian belakang. Beberapa undangan dibagikan fotokopi tersebut.
Muhammad Rain membacakan isinya dengan mikropon ditangan, undangan pun mengikuti bacaannya kalimat demi kalimat persis seperti tertulis di ‘diktat’ tersebut. Kenangan saya pun melintas ke tahun 1979 saat ibu Sakdiah, guru kelas 3 SDN 1 Krueng Geukueh mengomel jika kami tidak menyimak bacaan keras dari seorang teman yang digilir membaca.
Sambil terus menyimak, teringat pula saya pada Pak SI, guru bahasa dan sastra yang mengajar kami di kelas satu SMA Negeri 1 Lhok Seumawe 31 tahun lalu. Semua pelajaran yang pernah beliau berikan bergema kembali lewat pengeras suara, kali ini dari suara Muhammad Rain.
Don’t Judge a Book By Its Cover
Din Saja sekarang berumur 56, seandainya pegawai negeri tentu dia baru saja pensiun. Din kembali ke kota kelahirannya Banda Aceh, setelah delapan tahun merantau ke Padang. Waktu itu usianya 21. Tak banyak yang tahu Fachruddin Basyar adalah nama pemberian orang tuanya.
Sewindu bermukim di Sumatera barat, setidaknya ada lima judul pementasan teater yang sempat dilakukannya bersama Rizal Tanjung: Oedipus Rex, Malin Kundang, Isa A.S., Malam Terakhir dan Bantal. Mereka tergabung dalam Teater Moeka Padang.
Walau puisi-puisinya telah dimuat di koran Singgalang, Haluan, Semangat, Canang dan terbit pula dalam dua buku antologi puisi semasa tinggal di Padang, Din baru berani mengaku sebagai penyair setelah kembali ke Aceh.
Di Aceh, hanya ada sebuah antologi yang memuat seluruh karyanya, Sirath, terbitan Lembaga Seni Aceh miliknya tahun 1995. Selebihnya selalu terbit bersama karya penyair lainnya: Nafas Tanah Rencong (DKA, 1993), Banda Aceh (DCP Production, 1993), Lambaian (Deptrans Aceh, 1993) dan Sosok (LSA, 1993).
1993 hingga 1995 adalah milik Din Saja, tahun-tahun berikut dia harus bertatih-tatih dengan puisinya. Terakhir puisinya dimuat di antologi Seulawah (Yys Nusantara) dan Setengah Abad Indonesia Merdeka (TB Solo).
Sayangnya, kupasan ‘Dari Rahim ke Kuburan’ yang puisi-puisinya dipilih oleh Muhammad Rain hanya terbit dalam bentuk fotokopi sejumlah 50 eks dengan sampul sesederhana kain kafan. Mungkin Din Saja dan Muhammad Rain mengamalkan ungkapan ‘Don’t Judge a Book by Its Cover’.