Melalui Ilusi Waktu

Aku sedang duduk sendirian di Famili 100, warung kopi langgananku, ketika kulihat pelanggan di seputarku sebagai sesuatu yang bukan mereka saat ini. Aku agak terkejut. Entah bagaimana dinamika didalam diriku mengaduk-aduk jiwa ini. Yang kutahu, tiba-tiba aku telah menjadi manusia yang melihat segala sesuatu melalui ilusi waktu.

Aku memperhatikan orang-orang yang sedang minum kopi di sekelilingku satu-persatu dengan ekor mata. Lalu ilusi waktu membuat aku melihat mereka di 4000 tahun yang akan datang. Saat itu mereka adalah kerangka-kerangka yang terbenam berserakan di dalam tanah; yaitu di tanah-tanah yang telah ditinggalkan.

Yang kumaksud dengan “tanah-tanah yang telah ditinggalkan” adalah sebagai berikut. Suatu pagi aku terbangun. Setelah shalat Subuh aku keluar dari rumah. Aku berjalan-jalan dari pokok bunga yang satu ke pokok bunga yang lain yang ada di halaman. Tiba-tiba namaku disebut orang, “Tuan Mus…”

Aku melihat seseorang berdiri di pintu pagar halaman depan. Dalam remang sisa subuh, aku tidak dapat mendeteksi orang itu. Maka aku mendekat. Rupanya, eee-heh, Tuan Sofyan, tetanggaku yang di sebelah kiri.

Mengapa aku menyebut Tuan Sofyan sebagai tetanggaku yang sebelah kiri? Karena aku punya tetangga yang di sebelah kanan. Namanya Abu Muhammad.

Abu Muhammad beserta isteri, anak dan dua cucunya sudah tidak ada. Rumahnya sudah kosong. Pekarangannya sudah dipenuhi ilalang dan pohon-pohon rambat. Begitu juga tanah kebun dan tanah sawahnya, sudah penuh dengan semak belukar. Demikian pula toko alat-alat musiknya. Di sana sarang laba-laba centang perenang antara gitar dan piano, antara drum dan biola, antara organ dan kotak-kotak seruling.

Semua itu juga berawal seperti subuh ini. Pagi itu Abu Muhammad menyeru namaku seraya berdiri di pintu pagar halaman. Lalu aku mendekati beliau. Tak lama kemudian kami saling berpelukan. Air mata kami tumpah berderai.

Tak lama kemudian isteri Abu Muhammad juga datang, lalu berpelukan dengan isteriku. Air mata mereka tumpah. Mereka saling sesugukan. Begitu juga pada saat yang sama, anak-anak Abu Muhammad saling berpelukan dengan anak-anakku, dan cucu-cucu Abu Muhammad saling berpelukan dengan cucu-cucuku. Tangis dan air mata berderai di pagi yang damai itu.

Dan setelah itu mereka mengucapkan selamat tinggal untuk selamanya kepada kami, dan kami pun mengucapkan selamat jalan untuk selamanya kepada mereka. Maka sejak hari itu suasana di sebelah kanan pekarangan rumah kami hening, sepi dan teramat sunyi.

Begitu juga pada waktu-waktu yang lalu, dan pada waktu-waktu yang lalunya lagi. Tetangga kami datang satu-persatu. Mohon maaf atas segala dosa, bersalaman, berpelukan, saling menangis, sesugukan, lalu mengucapkan selamat tinggal untuk selamanya, dan kami pun mengucapkan selamat jalan untuk selamanya.

Di kota ini, dua keluarga terakhir yang tersisa adalah keluargaku dan keluarga Tuan Sofyan. Semua keluarga yang lain sudah duluan pergi. Ada yang terbang setahun yang lalu, ada yang terbang beberapa bulan yang lalu, dan hari ini adalah hari tibanya jadwal Tuan Sofyan dan keluarganya beserta beberapa keluarga dari kota lain untuk terbang juga. Sebentar lagi aku akan menyaksikan isteri Tuan Sofyan dan isteriku, anak-anak Tuan Sofyan dan anak-anakku, cucu-cucu Tuan Sofyan dan cucu-cucuku bersalaman, berpelukan dan saling menangis sesugukan lalu saling melambai penuh khidmat sebagai akhir dari persaudaraan kami di bumi. Sedangkan isteriku, anak-anak, menantu dan cucu-cucuku akan terbang bulan depan.

Kecuali.

Aku.

“Mengapa Bapak tidak mau pindah?” demikian tanya isteriku ketika melihat bahwa satu-persatu keluarga di kota kami telah pindah, lalu disusul oleh keluarga-keluarga tetangga kami. Demikian juga tanya anak-anakku, menantu-menantuku dan cucu-cucuku.

Kepada mereka aku hanya mengatakan, “Berangkatlah kalian dulu. Mana tahu di belakang kalian Bapak berubah pikiran, tentu akan menyusul.” Dan sebenarnya andai isteriku masih belum setua itu, mungkin aku akan menambahkan, “Kelak jika Bapak tidak menyusul lebih dari setahun, menikahlah dengan seorang lelaki lain. Kalian semua harus bahagia di sana.”

Lalu jadwal keberangkatan keluargaku pun tiba. Tak perlu kuceritakan bagaimana suasana di detik-detik terakhir menjelang aku berpisah dengan isteriku, dengan anak-anakku, dengan menantu-menantuku, dan dengan cucu-cucuku.

Ketinggian tekhnologi telah membuat orang-orang di bumi ini bisa berangkat dengan mudahnya untuk mendiami dunia yang baru di luar angkasa sana. Di planet Mars. Lalu satu-persatu negara-negara super maju kosong melompong. Warganya berbondong-bondong pindah ke Mars. Lalu diikuti warga-warga dari negara-negara yang baru maju. Maka, kini, semua warga bumi telah pindah ke Mars.

Kecuali.

Aku.

Sebenarnya isteriku, anak-anak, menantu-menantu, dan cucu-cucuku tetap ingin tinggal di bumi karena tidak mungkin meninggalkanku sendiri di sini. Tapi aku melihat, itu tidak mungkin. Isteriku butuh sosialita. Anak-anak dan menantu-menantuku perlu mengembangkan keluarganya. Cucu-cucuku butuh sekolah dan teman-teman untuk bermain.

Jika mereka bersikeras tinggal di bumi, dengan siapa mereka mau melakukan semua itu. Orang-orang lain semua sudah terbang. Sekolah-sekolah sudah tutup karena keluarga guru-guru sudah berangkat. Mereka akan mengajar di sekolah-sekolah yang baru di Mars. Listrik tidak menyala lagi karena keluarga-keluarga para tekhnisi pembangkit tenaga listrik juga sudah berangkat. Penyelenggara pemerintah sudah berangkat, dan yang namanya pemerintahan sudah tidak ada. Bukan hanya di negara ini, tapi juga di negara-negara di seberang lautan sana. Semua hanya tinggal bekas-bekas pertapakan negara.

Sedangkan pihak penerbangan luar angkasa hanya menyisakan satu penerbangan lagi, yakni khusus untuk mengangkut orang-orang terakhir yang ingin pindah. Setelah itu mereka tidak akan kembali lagi ke bumi ini. Nah, dengan penerbangan terakhir itulah keluargaku dan beberapa keluarga di beberapa negeri, berangkat. Dan pihak penerbangan sudah jauh-jauh hari memberikan pengumuman berkali-kali, siapa yang memilih untuk tetap tinggal di bumi ini, maka orang itu akan tinggal untuk selama-lamanya.

Pihak penerbangan tahu, aku adalah manusia satu-satunya yang memilih tinggal di bumi. Mereka sudah memberikan penyuluhan padaku tentang risiko-risiko tinggal sendirian di bumi. Bahkan mereka memastikan, “Tuan Mus jangan menerka-nerka bahwa ada seseorang yang lain yang mungkin memilih tinggal. Tidak. Tidak seorang pun. Tuan Mus jangan berspekulasi bahwa mungkin ada seorang perempuan yang memilih tinggal, lalu Tuan dan perempuan itu akan meneruskan garis keturunan untuk mengisi kembali bumi ini, yaaa, kira-kira seperti Adam dan Hawa di masa lalu. Tidak. Jangankan perempuan yang masih produktif, seorang nenek tua pun tak ada yang memilih tinggal.”

Ya, memang. Satelit telah memastikan, semua warga bumi telah masuk dalam daftar penerbangan terakhir. Ya, sudah. Dan kini mereka pun telah berangkat. Sekarang aku adalah satu-satunya warga bumi. Berteman dengan burung-burung. Kini burung-burung bebas terbang ke mana-mana. Malah sebagiannya mulai membuat sarang di puncak-puncak gedung pencakar langit yang ditinggalkan manusia. Kadang-kadang aku berpapasan dengan binatang-binatang rimba yang mulai suka berjalan-jalan di antara gedung-gedung kota yang telah sunyi.

Untuk urusan makan, aku masih memiliki persediaan makanan yang banyak. Beras dan roti masih banyak di toko-toko sembako yang ditinggalkan begitu saja tanpa dikunci pintunya. Bahkan di sawah-sawah di kampung-kampung padi menguning sendiri, lalu butiran padi itu jatuh ke tanah, dan berkecambah lagi, tumbuh lagi, berbuah lagi, menguning lagi, jatuh lagi, dan begitulah seterusnya hingga areal persawahan itu menyemak lalu berubah menjadi hutan belukar.

Untuk urusan tidur, kadang-kadang aku tidur di rumahku. Tapi tidur di rumah orang lain pun sama saja, dunia dan segala isinya telah menjadi milikku seorang. Kadang-kadang aku berkelana ke kota yang lain dengan mendayung sepeda yang kuambil begitu saja di sebuah toko sepeda. Kadang aku masuk ke sebuah rumah yang di bagian lantai atasnya kudapati sebuah piano, lalu aku memainkan piano itu, dan kalau kebetulan aku asyik hingga malam hari, maka aku tidur di rumah itu.

Ya, kalau malam aku enggan berpergian ke mana-mana—karena listrik tidak ada lagi—untuk menghidari berpapasan dengan binatang buas yang bahkan beberapa jenis di antaranya, seperti harimau, buaya dan singa, mulai membikin sarangnya di sudut-sudut kota karena masih banyak ternak bekas peliharaan manusia yang bisa mereka jadikan makanan, seperti kambing, lembu, kerbau, ayam dan itik.

Ya, kadang aku berkelana terus dari kota-ke kota dengan sepeda yang kuganti-ganti di setiap kota. Kadang aku membawa mobil yang kuambil begitu saja di garasi sebuah rumah. Kadang aku menyetir truck besar yang masih bisa berjalan dengan lancar karena baterai penggerak mesinnya masih penuh. Kadang aku melayang dengan sebuah pesawat kecil yang kuperkirakan masih bisa mendarat dengan mulus. Dan di negeri mana pun aku tiba, hingga dua tahun pertama sejak dikosongkan, masih kudapati makanan yang bisa kumakan tanpa perlu proses memasaknya terlebihdahulu. Kalau pun aku ingin memasaknya, seperti mie instan misalnya, aku masih mendapati dapur yang masih bisa dihidupkan. Atau, minimal, aku bisa makan buah-buahan yang tumbuh ranum di halaman-halaman rumah. Ya, semua ini adalah milikku. Buah-buahan, rumah-rumah, gedung-gedung, kota-kota, wilayah-wilayah, seluruh daratan dan seluruh lautan, semuanya adalah milikku.

Aku memang menghindari masuk ke kampung-kampung, karena bekas-bekas perkampungan itu kini sudah menghutan dan dikuasai oleh binatang-binatang jenis parimata seperti siamang, monyet, kera dan lutung. Malah sejumlah di antaranya mulai mendiami gedung-gedung tinggi sejauh sisa-sisa makanan manusia masih mereka dapati di situ. Sejumlah jalan yang kulewati memang masih mulus, tapi sejumlah di antaranya mulai dijalari tumbuhan rumput dan ilalang.

Di rumah-rumah tertentu di kota yang lain kadang aku asyik menatap foto-foto yang ditinggalkan keluarga itu. Di rumah-rumah yang lain lagi kadang aku mendapati anjing peliharaan mereka telah beranak-pinak di seputar semak belukar pekarangan rumah di mana anjing-anjing itu telah menjadi anjing buas karena pola makan mereka telah berubah dengan mengandalkan makanan dari tikus-tikus dan binatang-binatang kecil yang ada di sekelilingnya.

Aku tidak bercerita bagaimana sunyinya dunia ini dengan hanya aku satu-satunya sebagai penghuni. Aku telah memilihnya. Aku juga tidak berharap bahwa mungkin esok-lusa atau di sejumlah tahun yang akan datang akan ada warga yang kembali dari Mars. Tidak. Jelasnya, mereka tidak akan kembali lagi. Mereka telah menetap di Mars sebagai tanah pijakan yang baru. Dan itu telah menjadi alam mereka sampai akhir hayat. Dan meski dengan sinar matahari yang sama, namun jelas mereka hidup di sana dengan udara yang baru, dengan cuaca yang baru, dengan iklim yang baru dan, tentu saja, dengan usia-usia yang lebih panjang.

Ada apa hingga mereka meninggalkan bumi? Tidak ada apa-apa. Bumi baik-baik saja. Malah selama seribu tahun terakhir tidak ada lagi perang antar manusia; tidak ada lagi konflik antar sesama; tidak ada lagi pembunuhan; tidak ada lagi caci-maki. Ledakan gunung berapi sudah bisa diantisipasi eksesnya. Gempa bumi sudah dapat diantisipasi kemungkinan jatuh korban di pihak manusia, pohon-pohon dan binatang-binatang. Hidup sangat nyaman. Hidup sangat damai. Ketinggian tekhnologi membuat kami bisa melancong ke planet-planet terluar. Hidup luar biasa indahnya. Tapi manusia memang makhluk petualang yang selalu gerah oleh keajaiban ilusi yang mampu dibangun oleh segala sesuatu yang belum ada. Yach, itulah yang membuat kami pindah ke Mars.

Lalu mengapa aku tidak mau pindah? Ah, jangan terlalu serius. Orang pindah karena gerah oleh keajaiban ilusi yang mampu dibangun oleh segala sesuatu yang belum ada. Sama sepertiku juga yang sedang duduk sendirian di warung kopi Famili 100 langgananku ini, yang tiba-tba melihat segala sesuatu di 4000 tahun lagi.

 Sigli, 2014

BACA JUGA:  Tuah Haji Mo