Pengkaji Seni, Perlukah?

Sudut pandang untuk melihat kesenian beragam macam, dari sisi penikmat, pekarya, pengapresiasi bahkan pengkritik yang menikmati ataupun pengkritik yang tidak menikmati kesenian itu amatlah berbeda antara satu dengan lainnya tersebut. Kesenian telah jauh melesat meninggalkan segala pertimbangan sekadar sudut pandang makna dan kegunaan.

Kesenian membawa fitrah manusia mempertunjukkan keindahan refleksi dari penciptaan alam dunia. Manusia membawa seni untuk bertahan dan mempertegas bahwa makhluk berakal inilah (manusia) yang mampu menghisap segala kenikmatan dunia. Lewat seni, kiprah manusia merebut keindahan hadirnya seorang pemikir sekaligus penikmat dari produk seni yang ia kreasikan.

Untuk Apakah Kesenian?

Dorongan naluri dan hasrat mencipta menjadi kesan pertama seseorang dalam menghadapi dunia seni. Proses menempatkan seni dalam batin penikmatnya adalah proses lepas haus, kenyang lapar, sumber manusia menelaah nilai rileksasi. Manusia bukan mesin tanpa rasa pada sebentuk tubuh konkret. Manusia pelamun, memihak kepada angan-angan tidak akan sampai pada proses berkesenian yang optimal. Garis batasnya ada pada karya, bukan pada kata-kata.

Pelukis, pemusik, aktor, penyair, vokalis, pematung, pemahat, pekerja seni lain yang sungguh beragam itu adalah sosok manusia yang lemah lembut, mudah bersentuhan dengan keteduhan dan ketenangan jiwa. Mereka tidak lahir dari proses pendidikan umum yang bersifat instan, reaksionis atau bahkan pragmatis belaka terhadap peristiwa kehidupan. Totalitas tergambar pada karya konkret dan unik. Unik sebab keterbedaannya dengan karya lain meski sejenis. Para seniman melakukan eksploitasi lahir batin dirinya bukan eksploitasi orang lain, karena itu seniman hanya lahir atas kesadarannya bertindak dan berubah peran dari seorang penonton karya seniman lain dengan menjadi pekarya baru.

Produk-produk kesenian dewasa ini telah serta merta dikotomis oleh era industri. Modernitas pada saat-saat tertentu telah membawa jarak antara seniman dengan penikmat. Hal ini terlihat dari kecenderungan masyarakat dalam mengapresiasi untuk menikmati kesenian secara berjamaah hanya secara rekaman, baik visual ataupun nonvisual serta keterpaduan dari keduanya.

Peristiwa seni sering sekali pada waktu tertentu tidak dapat se-atmosfir antara seniman dan penikmat. Penilaian ini didasarkan kepada ‘ketidakhadiran’ penikmat dalam pertunjukan maupun pemanggungan karya seni itu sendiri. Awalnya bisa diterima akibat keterbatasan ruang dan waktu. Reaksi-reaksi apresiasi kelihatan sekali semakin jauh dari riuh tepuk tangan. Penikmat, penonton dalam kaitan ini telah jenuh, hilang semangat dan lainnya akibat bertubi-tubinya penghadiran karya seni tanpa sempat melewati proses apresiatif yang normal, seperti peresapan makna, keikutsertaan perasaan sebagai rasa yang menjadi tujuan utama seni dicipta.

Prime time

Masyarakat telah terjerumus kepada kepercayaan seni sebagai produk instan. Hal ini sungguh berbahaya sebab dengan demikian tujuan-tujuan seni pada akhirnya tidak lagi tergapai. Seni diperuntukkan tidak semata untuk diraih nikmat dari segi pengindraan: visual, audiovisual, rabaan, dan lainnya. Ruang kosong penikmatan seni dari anasir-anasir kepuasan jiwa menjadi semakin lengang. Tidak lagi ada keharmonisan antara seniman dengan penikmat, sebab setelah terjadinya pergeseran rekaman dengan siaran langsung, seluruh kehadiran yang terpenggal akibat begitu banyaknya seni dihadirkan di waktu bersamaan selanjutnya ruang penikmatan seni menjadi timpang. Apresiasi akhirnya tidak maksimal. Di saat tersebutlah dibutuhkan pengkaji seni, boleh ia dari kalangan akademik, maupun kalangan nonakademik.

Dunia bergerak dan digerakkan oleh rotasi periodik. Manusia sepakat untuk menciptakan bulan-bulan seni. Even-even kesenian lalu diatur agar memenuhi faktor-faktor dimensional yang formal. Pemerintaah daerah dan pusat pemerintahan sebaiknya melakukan penataan secara lebih kontinu terhadap peristiwa-peristiwa kesenian yang akan berlangsung, sehingga kejenuhan akibat timbunan acara kesenian tidak sampai terjadi. Masyarakat lalu menjadi sukar menentukan saat terbaik menikmati hadirnya karya seni di lingkungan mereka. Refleksi dari lengang dan padatnya program berkesenian harus sejalan dengan semangat memperbaharui kebijakan seni sebagai budaya bangsa.

Pada bagian yang lain, pekerja seni harus pula merefleksikan kembali waktu-waktu bagi mereka dalam meng-ancang acara penampilan karya seni. Telah pasti bahwa eksistensi sebagai kreator berkesenian adalah libido positif untuk dipelihara. Namun perlu ada masa pengendapan, perenungan dan penjiwaan sebagai bekal penampilan, penciptaan. Untuk tujuan tidak terjebak dalam nafsu eksistensi yang salah kaprah, para seniman harus sadar akan jati dirinya sebagai pihak yang paham jiwa manusia. Apakah fungsi seni semata untuk dinikmati belaka tanpa penjiwaan yang reflektf dan responsif? Jawabannya ada pada naluri manusia seniman sejati.

Kejenuhan akibat begitu banyaknya pagelaran seni yang justru menjadi jamur menyambut industrialisme produk seni tidak akan membawa dampak positif bagi ruang seni. Problema bertimbunnya pementasan, pagelaran nyaris pada akhirnya akan merendahkan nilai seni. Pemerintah dan para seniman sudah saatnya duduk bersama untuk mengatur jadwal berkesenian. Jangan lagi pasar menjadi pengadilan, serta masyarakat penikmat menjadi korban kezumudan para seniman yang mengaku memiliki potensi dinamis dan harmonis.

Untuk apakah kesenian? Jika bukan untuk menunjukkan nilai rasa dan karsa ada dalam diri manusia. Alam telah memadukan seni ilahiahNya, sedangkan manusia tidak boleh merusak contoh yang ada, apalagi menyiakan akal dan budi yang telah dimiliki sebagai perpaduan diri manusia dengan alam itu sendiri. Manusia berkesenian untuk menyadari fitrahnya yang paling sempurna dari segala apa ciptaan Tuhan yang telah ada. Kesempurnaan ini adalah modal dan menjaganya merupakan rasa kesyukuran sebagai refleksi penikmat utama dunia.

BACA JUGA:  Sweet Seventeen