Siapakah Alina?

Adalah puisi ‘Perjalanan Kubur’ berawal kisah ini

Untuk kuburmu Alina
aku menggali-gali dalam diri
raja dalam darah mengaliri sungai-sungai mengibarkan bendera hitam
menyeka matahari membujuk bulan
teguk tangismu Alina
Sutardji Calzoum Bachri

Alina! Alina! Alina! Siapakah Alina? Yang menggurat gairah, mengunyah sejarah, getarkan tampuk semesta; adakah Alina? Alina di kesementaraan angan menuju keabadian kenangan — yang entah di mana akhirnya dan entah bagaimana jasad nisbinya. Alina yang punya sejuta cinta dan sekeranjang dosa umat manusia tengah meronta-ronta di liang kuburnya yang tua. Alina yang rahasia, yang berwujud kita, berwujud budaya, berwujud apa saja; tengah menjalani siksa. Siksa Alina!

“Jangan! Jangan ingkari Alina. Jangan sakiti Alina. Jangan dipolitisir Alina. Jangan agung-agungkan Alina. Jangan adakan dan tiadakan Alina. Jangan apa-apakan Alina. Jangan apa-apakan Alina! Biarkan Alina tetap Alina!” lengking saya dalam keadaan luruh yang meluruhkan kesenduan pagi berkabut di sebuah perkampungan kumuh, di pinggiran kota saya yang tertuduh.

Ya, kota saya merasa tertuduh telah merampas, membantai dan memperkosa Alina. Kota saya merasa tersingkir, dileceh-lecehkan, diludahi dan ditelanjangi. Kota saya gelagapan dan gemetar dalam amarah diamnya yang mendidih. Kota saya melambai-lambai, menggapai-gapai dan tidak mau tenggelam. Kota saya patah. Kota saya gerah. Wajahnya berlumur darah. Darah-darah yang melimpah. Darah-darah yang beriak-riak, berombak-ombak, bergulung-gulung melintasi samudera hati diri-hati diri, hingga akhirnya terhempas di pantai liang kubur Alina. Oh, kota saya yang berantakan!

Dan, ketika liang kubur Alina mulai mereguk genangan darah demi genangan darah yang memang bermuara ke sana, kesenduan pagi segera menyusut untuk segera terbang ke alam panas. Pagi tiba-tiba membara. Pagi-pagi dalam prahara. Pagi-pagi dalam huru-hara. Pagi-pagi jadi sangat berbahaya. Di persimpangan-persimpangan, di pusat-pusat perbelanjaan, di salon-salon kecantikan, di emperan-emperan kaki lima, di lorong-lorong sempit, di depan kantor-kantor pemerintah dan swasta, di halaman-halaman sekolah, di pinggir kali, di pasar ikan, di pasar sayur, di pasar-pasar lelang umur manusia, orang-orang ternganga sambil menatap pilu ke ufuk liang kubur Alina. Mereka bertanya-tanya apa tanda ini semua? Apa makna ini semua?

Dengan hati berdebar-debar mereka segera membentuk barisan.

Tanpa aba-aba mereka segera bergerak. Derap langkah menggemuruh, membungkamkan diam mereka yang resah. Pagi terasa semakin panas! Parade mereka — penduduk kota saya — semakin mantap berderap, semakin cepat bergerak. Peluh mulai bercucuran. Amarah mulai terpancar dari muka mereka. Ada yang merasa tersayat pedih. Ada yang merasa teriris perih. Tetapi mereka semua berusaha diam, berusaha membungkam rasa, membungkus luka, menyeret damba, menggapai semesta. Dan semua menuju ke saya. Mereka menuju ke saya!

Saya terbeliak-beliak menyaksikan kerumunan orang yang begitu banyak. Besar-kecil, tua-muda, lelaki dan wanita berdesak-desak mengerumuni saya. Mereka semua menikam saya dengan pandangan matanya yang dingin, sinis dan mengerikan. Ribuan mulut dikancip-kancipkan. Ribuan tangan diancung-ancungkan. Ribuan kepala ditengadahkan. Ribuan dada ditepuk-tepuk. Ribuan kenangan dirobek-robek, diremas-remas kemudian dicampakkan ke muka saya. Mereka marah! Dan marahnya ditujukan kepada saya! Mengapa harus ke saya? Mengapa saya?

“Kau!” tuding seorang nenek dengan beringasnya.

“Kembalikan aku! Kembalikan kau!” jerit histeris seorang cukong bertubuh jangkung.

“Bantai saja kau! Sikat semua kau! Tunggu apa lagi kau!” terisak-isak seorang bocah bergumam.

Kemudian semua bergumam-gumam, semua berbisik-bisik, semua mengerang-ngerang dan semua mengerat-ngerat keberadaan saya. Saya terpelanting kesana-kemari dalam keterkejutan yang patah-patah. Saya gerah, kecut dan lunglai. Saya terabaikan. Saya merasa digorok-gorok, dicincang dan diiris tipis-tipis. Habis! Habislah saya! Tapi saya tidak tahu apakah saya yang kehabisan ataukah saya yang dihabiskan.

Yang jelas saya jadi sangat merana, menderita, terlunta-lunta akibat malapetaka Alina.

Alina? Mengapa saya terhina karena Alina? Begitu tegakah Alina? Mengapa saya ternoda karena Alina? Begitu berkuasakah Alina? Pasrahkah saya demi Alina? Oh, ini bencana apa? Ini bencana apa?

“Keterlaluan sekali! Saya tidak mau diperlakukan seperti ini. Saya benci! Saya tak mau mati dalam sekarat seperti ini. Kasihan Alina bukan berarti kasihanilah saya. Alina tetap Alina! Saya bukan Alina! Biarkan saya tetap saya. Saya tak tahan lagi, saya tak rela jika diganyang seperti ini. Biarkan saya kembali kepada saya. Biarkan saya…,” ratap saya dengan terhiba-hiba.

Udara mendadak gemetar. Daun-daun, batu-batu, dinding-dinding, tiang-tiang listrik, jembatan-jembatan, perasaan-perasaan, kekecewaan-kekecewaan, kebohongan-kebohongan, nista-nista, ambisi-ambisi, persepsi-persepsi, kolusi-kolusi, imaji-imaji, bergetar-getar. Semua bergetar-getar. Begitu asingnya suasana ini tercipta. Saya sedang diperdaya! Saya sedang diperdaya!

Suatu ketika seraup hawa panas menyebar, menampar muka-muka penduduk kota saya yang tercengang-cengang; pilu dalam tanda tanyanya masing-masing. Namun mereka tetap saja menikam saya dengan ketercengangannya dan tanda tanya yang menggelegak di benaknya. Mereka jadi sangat buas dan beringas dalam katup gamangnya yang sukar diterjemahkan. Mereka sepertinya bukan lagi mereka!

“Oh, Alina…, mengapa mereka menghimpit-himpit saya dengan bala bencana seperti ini? Apa salah saya, Alina? Tolonglah saya, Alina! Ah, tetapi tidak! Tidak! Saya tak perlu dikasihani. Saya bukan jenis manusia banci. Lupakan saja saya. Biarkan saya tetap saya. Acuhkanlah saya supaya saya segera merdeka. Ya, merdeka!”

Tetapi semua jadi percuma. Saya merasa tersia-sia tanpa jiwa, tanpa rasa, tanpa apa-apa. Saya jadi ringan polos-telanjang, melayang-layang dan membentur ruang batas yang tak berbatas. Kemudian perlahan-lahan saya meluncur, meraup baying-bayang dan sisa angan-angan yang menyekat di ubun-ubun penduduk kota saya. Penduduk kota saya semakin terperangah dan terus saja marah-marah. Mereka blingsatan kesana-kemari, sibuk dalam mencari-cari.

Agaknya penduduk kota saya telah kehilangan sesuatu yang entah apa, yang pernah jadi miliknya, yang paling dicintainya. Mereka semakin sibuk mencari-cari, menyusup ke riol-riol, mengais-ngais bak sampah, membongkar-bongkar arsip negara, mengaduk-aduk gudang beras, gudang tepung, gudang hati, gudang mimpi, gudang sepi, memilah-milah sejarah, mengobrak-abrik gairah, melesat ke semesta! Mereka terus mencari-cari. Mereka larut dalam pencariannya sendiri-sendiri.

Meresapi makna malapetaka ini saya jadi sakit sekali. Mengapa semua harus berakhir seperti ini? Adakah ini dendam Alina? Adakah ini kutuk Alina? Mengapa semua harus merasakan siksa? Siksa! Oh, terlalu purba makna yang tersirat dari siksa yang tersiksa dirimu Alina. Alina, adakah engkau rindu? Mungkin kami yang tertipu!

Sebuah kekuatan menyerap tubuh saya mendekati liang kubur Alina. Saya terkesiap dan segera bergerak-gerak, menghentak-hentak untuk melepaskan diri dari cengkeraman kekuatan laknat ini. Seluruh kekuatan saya kerahkan. Sebuah kehormatan saya pertaruhkan. Tetapi semua jadi sia-sia. Saya harus mengaku kalah. Tubuh saya semakin lemah. Saya merasakan lelah. Oh, mengapa harus ada kekalahan?

Udara semakin membara. Pagi kehilangan rupa. Angin merah menderu-deru menciptakan suasana neraka. Kata-kata mengalir begitu cepat dan tersaruk-saruk dalam perjalanannya yang mendidih, menggelegak, berbuncah-buncah, meleleh di dinding-dinding kusut kota saya. Jalan-jalan protokol dan lorong-lorong dingin terlipat-lipat. Pepohonan menguap. Taman kota membusuk. Wajah kota saya terkelupas dan bopeng-bopeng. Kota saya terluka! Kota saya terluka!

Sedikit demi sedikit tubuh saya digiring ke tepi liang kubur Alina untuk dibenam di sana . Saya mencoba untuk berbuat, tetapi tidak tahu harus berbuat apa karena saya sudah dicekam untuk tidak berbuat apa-apa. Saya relakan saja jika ini memang akhir yang harus saya terima. Perlahan-lahan tubuh saya mulai dibenamkan ke liang kubur Alina. Saya juga tidak tahu harus bersedih atau bersuka ria. Saya diam saja, menerima apa adanya. Tubuh saya semakin terbenam, semakin tenggelam dalam liang merah membara milikmu Alina! Milikmu Alina!

Lambaian terakhir sempat saya ancungkan, sebagai ucapan selamat tinggal kepada seluruh penduduk kota saya yang semakin sibuk mencari-cari. Saya tidak tahu apa yang mereka cari. Adakah mereka mencarimu, Alina? Oh, Alina, terimalah saya seutuhnya. Seutuhnya di keabadianmu, Alina!

Sekali mata saya terbeliak. Kemudian perlahan menjadi sendu, sayu dan terasa begitu syahdu.

Udara kian membara.

Tapi, dimanakah Alina?! Dimana Alina?!

Saya dibohongi lagi!

Saya dibohongi lagi!

BACA JUGA:  Melalui Ilusi Waktu