Kamilah rakyat yang tersekat, terjerat, melarat, selalu dalam sekarat, dan selalu saja terbuai-buai dalam decak indah manis bual-bualmu, wahai Tuan-Tuan Pembual.
Tuan Pembual
Kamilah rakyat yang tersekat, terjerat, melarat, selalu dalam sekarat, dan selalu saja terbuai-buai dalam decak indah manis bual-bualmu, wahai Tuan-Tuan Pembual. Ketika bermula musim semai menyemai bual, amatlah lantang kobar-kobar bualmu, wahai Tuan-Tuan. Sungguh sangar dan angker bualmu itu. Terpukaulah kami. Berdeguplah dada kami, menggelegak berbuncah-buncah harap akan cerahnya hari esok. Begitu cocok dan selalu cocok bualmu mematuk dan menyosor-nyosor lingkar melingkar selingkar derita kami, menjelang sore itu di tanah lapang ujung kampung kami.
“Karena anda-anda dan saudara-saudari semua adalah saudara-saudara saya tercinta, saya tak ingin membiarkan angkara murka melindas tak habis-habis awal hidup hingga akhir hidupmu, wahai saudaraku! Saya bersumpah akan berjuang demi mengentaskan segala derita yang terpelihara dengan sangat sempurna bermasa-masa, turun-temurun. Sungguh derita itu jangan lagi kita manjakan. Mari bersama-sama kita bekerjasama dengan saya punya rencana. Anda-anda tak perlu ragu, karena janji saya pasti saya tunaikan jika saudara-saudari mempercayai saya. Percayailah saya! Ingatlah janji saya, tak pernah ada lagi peminta-minta di simpang-simpang jalan, karena mereka akan kita berikan modal usaha apa saja sesuai maunya mereka. Lapangan kerja terhampar luas, seluas samudera di laut lepas. Harga bahan pokok tak akan naik semena-mena, minyak tanah tak perlu antri, listrik tak perlu bayar, pembangunan fisik dan mental spiritual menjadi prioritas pertama dan utama. Koruptor dan pemakan uang rakyat akan kita pancung atau kita gantung, sehingga ia jera, sehingga tak ada lagi ketimpangan yang merugikan rakyat. Tak ada lagi kebodohan, karena pendidikan akan bebas dari segala biaya. Tak ada lagi biaya kesehatan, karena semua akan digratiskan. Free! Free semuanya! Free hidup! Free mati!” Tuan Pembual itu terengah-engah kehabisan nafas.
Sore bersaput debu menjadi saksi atas segala bual yang terpercik di sehampar tanah lapang yang hampir tandus dari kenangan rerimbunan rumput. Ya, hampir tandus, sehampirtandusnya keyakinan dan kepercayaan kami akan ampuhnya bual-bualmu, wahai Tuan Pembual. Sekedar menghargai niat baikmu untuk memperjuangkan nasib kami, maka kami memaksakan diri untuk sejenak mendengarkan bual-bualmu. Karena engkau telah membual bahwa kami adalah saudaramu, maka apa susahnya jika kami juga ala kadarnya menganggapmu saudara. Alangkah licik dan mirisnya jika kita bersepakat untuk saling bual-membual!
“Untuk itu wahai saudaraku, bulatkan tekad, tetapkan niat agar mempercayakan nasib hidup mati saudara-saudara kepada saya, karena makmur, adil, sejahtera pasti segera jadi milik kita. Dukunglah rencana-rencana saya. Pilihlah saya! Pilihlah saya!”
Seekor kelelawar tua terbang rendah melintas tanah lapang. Kepak sayapnya lemah. Ia berputar-putar tujuh kali di atas kepala Tuan Pembual. Setelah itu, kelelawar tua itu jatuh, menimpuk kepala botak Tuan Pembual. Seketika itu juga kelelawar tua itu mati. Tuan Pembual tersentak. Ia meraba kepalanya. Ada darah melekat di jari tangannya. Ia tercekat. Seketika ia pucat. Ia merasakan sial. Ia tersadar, ia telah terlalu banyak membual.
Sore hampir selesai. Kami rakyat yang suka dibual-bual berbisik-bisik sesama kami. Tak jelas apa yang kami bisikkan. Karena kami enggan bersuara, maka bisik membisik biarlah menjadi jatah kami. Karena bual kami tak sehebat bualnya Tuan Pembual, maka biarlah kami membual hal-hal yang remeh, seumpama akankah Obama terpilih menjadi presiden Amerika, makna apakah gempa 3,8 skala Richter pada jam 08.05 di hari 20 puasa, salah apakah kampung kami kini jarang hujan, khusyuk mana minum kopi atau shalat tarawih, harga timun murah sekali, harga emas naik lagi, harga hidup semakin susah lagi, harga mati tak ada tawar-tawar lagi!
Tuan Pembual menghilang entah kemana. Kami tak sempat mempedulikannya lagi. Kami sibuk mempedulikan diri kami, anak istri kami, saudara sekampung kami. Peduli kami hanya dari kami untuk sesama kami sendiri!
Banda Aceh, 20 September 2008