Event Pariwisata; Menolak Untung, Menjemput Rugi

Diakhir tahun 1989, God Bless tampil di Stadion Lampineung. Ada alasan penting, mengapa mereka konser di situ. Promotor musik, Log Zhelebour, membawa group rock nomor satu Indonesia itu ke Banda Aceh dalam rangka mempromosikan album terbarunya, ‘Raksasa’. Dengan dukungan sponsor dari sebuah perusahaan rokok asal Kediri, pementasan mereka sukses besar. Stadion Lampineung dibanjiri lautan manusia. Saya salah seorang diantaranya.

Pemerintah Aceh pun kecipratan keuntungan melalui pajak tiket yang laku keras dan pajak dari puluhan spanduk promosi acara yang memenuhi berbagai lokasi di Banda Aceh.

Menjemput Rugi

Sayangnya, hari ini pemerintah Aceh malah harus mengeluarkan uang ratusan juta ketika ada artis nasional yang datang ke Aceh. Mengapa bisa begitu?

Beberapa tahun terakhir, melalui dinas terkait Pemerintah Aceh sangat getol membuat event promosi pariwisata. Untuk tahun 2019 ada 100 event yang telah dan akan dilaksanakan di berbagai daerah di Aceh. Dan pada event-event tersebut sering ditampilkan artis nasional sebagai suguhan utama.

Alih-alih merangkul sponsor swasta untuk membiayai kedatangan artis nasional seperti yang dilakukan oleh Log Zhelebour, Pemerintah Aceh malah membayar mereka dengan uang APBA. Ini kontra produktif. Dan bila dulu Pemda ketiban untung dengan datangnya artis nasional, sekarang mereka malah menjemput rugi.

Alienasi Kesenian & Fantasi Panitia

Lucunya lagi, artis-artis nasional tadi tampil dengan lagu-lagu pop yang tidak ada hubungannya dengan konten promosi pariwisata daerah setempat. Bayangkan, betapa kecewanya wisatawan yang datang dari luar daerah yang hadir dengan harapan menikmati suasana eksotis daerah dengan kesenian lokalnya, malah disuguhi materi klise yang sudah biasa mereka tonton sebelumnya.

Penampilan artis-artis nasional tersebut sebenarnya adalah fantasi dari panitia event yang ingin berjumpa dengan artis idolanya. Sebut saja penampilan group ‘Sabyan’ di Bireuen, 15 Oktober 2019 lalu. Sebenarnya Sabyan tampil sangat menarik, tapi untuk event ‘Aceh Internasional Percussion’, panitia mendatangkan artis yang kurang tepat.

Pertama, materi yang mereka tampilkan tidaklah mencerminkan judul acara. Kedua, untuk artis sekelas Sabyan, dipastikan akan banyak sponsor yang tertarik untuk membiayai mereka konser di Bireuen tanpa harus membebani uang rakyat. Ketiga, biaya yang sangat besar yang dibayarkan untuk artis nasional, lebih baik digunakan untuk memberdayakan seniman lokal, dengan memberi mereka ruang yang lebih banyak untuk tampil dengan honor yang manusiawi.

Pemberdayaan Seniman Lokal

Anehnya, kejadian seperti diatas berulang kali terjadi, bukan saja di kabupaten/kota tapi juga hingga ke ibukota provinsi. Sebenarnya Pemerintah Aceh bisa melakukan beberapa hal untuk menghindari keanehan dan kelucuan-kelucuan tadi.

Pertama, pemerintah harus memilih orang yang paham pekerjaan dan konsep acaranya sebagai panitia. Kedua, hindari mendatangkan artis nasional untuk acara yang bersifat eksotis lokal, karena akan berefek paradoks. Ketiga, tidak semua seniman lokal punya ilmu seni pertunjukan yang baik, maka bekali mereka agar setara dengan artis nasional/internasional. Keempat, beri peluang seluas-luasnya untuk semua pegiat seni tanpa pilih kasih.

BACA JUGA:  Hentikan Perdamaian!