Eksperimen Belum Selesai

Karena belum jelas audience mana yang mau dituju, hingga saat ini musikalisasi puisi masih bingung mencari-cari bentuk karyanya.

Melalui deklamasi, orang mencoba menafsirkan pengalaman batin si penyair ke dalam bentuk lisan dan gerakan. Berusaha membawa tulisan puisi dari alam ideal ke alam kenyataan. Biasanya saat deklamasi dilakukan, di depan mereka ada penontonnya. Namun, ada juga yang suka berdeklamasi sendiri di depan cermin.

 

MUSIKALISASI PUISI

Dibanding deklamasi, musikalisasi puisi butuh usaha ekstra. Jika dengan berdeklamasi saja ada banyak unsur yang harus diperhatikan, maka dengan musikalisasi puisi, unsur yang jadi perhatian itupun menjadi berlipat ganda.

Sebenarnya musikalisasi puisi adalah upaya membawa puisi naik ke atas panggung pementasan. Mempersembahkannya pada penonton yang notabene telah menyiapkan mentalnya untuk menyaksikan sebuah pertunjukan, terutama unsur musiknya.

Apapun namanya, musikalisasi puisi adalah turunan dari deklamasi, sebuah teknik pembawaan puisi yang telah lama dikenal. Apakah kemudian puisi dalam musikalisasi tersebut masih dideklamasikan atau dinyanyikan, unsur puisinya tetaplah menjadi hal utama.

 

AKRAB DULU BARU NIKMAT

Ketika penonton menikmati musik secara live, perhatian mereka terutama disedot oleh aspek pertunjukannya. Walaupun kadang ikut bernyanyi bersama-sama, jarang penonton meresapi kata-kata lagu pada saat acara berlangsung.

Jika ingin menyimak isi lagu, mereka memilih untuk mendengarnya secara private. Malah kadang-kadang memakai headphone, agar tidak terganggu ataupun mengganggu.

Berbeda dengan penonton film yang tidak ingin mengetahui jalan ceritanya sampai mereka menyaksikan film itu untuk pertama kalinya, penikmat musik malah harus akrab dulu dengan materi lagunya sebelum mereka bisa betul-betul menikmatinya. Butuh proses.

 

KESEMPATAN PERTAMA

Ironisnya, kebanyakan materi musikalisasi puisi yang ditampilkan di atas panggung adalah karya baru. Saking barunya malah belum sempat direkam, diterbitkan dan dipublikasikan.

Adalah menjadi tantangan besar apabila pementasan musikalisasi puisi ditujukan bagi penikmat musik. Apalagi dengan menampilkan karya-karya baru yang belum akrab di telinga. Jarang sekali musik bisa dinikmati secara kaffah pada kesempatan pertama mendengarnya.

Bila mengharapkan pengunjung pertunjukan musikalisasi puisi untuk mencerna syair pada kesempatan pertama, sepertinya harus dipikirkan kembali. Sebab, hanya dua hal yang bisa langsung terserap pada saat mendengarkan materi musikalisasi puisi untuk pertama kalinya, hentak irama dan alunan melodinya.

Materi musikalisasi puisi yang tidak akrab bagi penontonnya, bisa menyebabkan isi pesan gagal tersampaikan.

 

HANYA LAGU POP BIASA

Ketika musikalisasi puisi ditujukan untuk penikmat deklamasi, malah bisa jadi musiknya menjadi pengganggu. Memang kadang-kadang pada deklamasi ada musiknya juga, tetapi hanya sebagai latar belakang saja, bukan sebagai kesatuan.

Musikalisasi yang puisinya dinyanyikan kerap mengorbankan tempo baca, mengorbankan durasi dan aksen bunyi suku kata, serta mengorbankan jeda antar kata maupun kalimat, karena harus berkompromi dengan birama. Alhasil, puisi tersebut terdengar layaknya nyanyian biasa, menjadi seperti lagu-lagu pop pada umumnya.

Kelihatannya sampai saat ini musikalisasi puisi di Indonesia masih berkisar dalam tahap eksperimen. Masih butuh waktu panjang untuk penyempurnaan lebih lanjut.

BACA JUGA:  Penyanyi Aceh: Canggung atau Tidak Berbakat?